"Gimana, Mas?" Pelayan itu kembali bertanya saat tak mendapat jawaban dari Abhimanyu usai lelaki itu memanggilnya.
"Eu ... saya pesen air putih aja."
Pelayan tersebut mengangguk paham dan pergi mengambil apa yang dipinta Abhimanyu. Setelah mendapat air putih tersebut, ia meneguknya hingga habis. Sorot matanya begitu tak terbaca, ia amat bingung dan resah dalam satu waktu.
Lembayung menyembunyikan bahwa ia telah bertemu Erlang saat dirinya tengah terbang di udara, ucapan ibunya yang tiba-tiba kembali terdengar usai susah payah ia hiraukan, dan perdebatan malam itu. Iya, Abhimanyu memang teramat senang kala itu hingga ia tak bertanya-tanya mengapa di pagi harinya usai perdebatan, Lembayung sudah bersikap biasa saja bagai tak terjadi apa-apa.
Tangan Abhimanyu kembali menuangkan isi teko pada gelas dan meneguknya. Air putih tersebut terasa nikmat menerobos masuk ke dalam kerongkongannya. Dituangnya air dalam teko beberapa kali sembari berpikir tak perhatikan sekitar hingga tanpa disadari ia sudah menghabiskan hampir setengah teko. Abhimanyu lalu pergi untuk menjemput Pandu yang barangkali sudah selesai makan malam.
Kepalanya celingak-celinguk memindai parkiran tetapi Abhimanyu segera menepuk keningnya. "Gue 'kan ke sini nggak bawa mobil."
Abhimanyu kembali menyusuri jalan yang ia ambil sebelumnya dan sampai pada kedai ayam. Dengan hitungan singkat, ia berhasil mendapati Pandu yang masih terduduk manis di bangkunya dengan piring yang hampir kosong bersisakan tulang ayam.
"Pandu, udah selesai makan?"
Pandu tersenyum lebar melihat eksistensi Abhimanyu kembali. "Udah, Om."
"Ya udah ..." Abhimanyu mendesis sembari memegang kepalanya. "Ayo pulang."
Pandu mengangguk cepat lalu berdiri dengan buku catatan di dekapannya. Abhimanyu dan Pandu berjalan menuju parkiran. Menurut Pandu, ini lucu lantaran Abhimanyu sempat salah mengenali mobilnya sendiri dan keduanya sama-sama tertawa akan hal itu.
Setelah duduk di dalam mobil, Abhimanyu menginjak pedal gas, pergi menjauhi kawasan kedai ayam sementara Pandu kembali berkutat pada buku dan menuliskan kejadian lucu tadi.
Pandu beralih mengernyit kala mencium bau aneh di dalam mobil. Ia melihat bahwa pendingin mobil sudah dinyalakan, tetapi mengapa bau menyengat ini tak kunjung reda?
"Om Abhi."
"Hm?"
"Jalanannya sepi, ya," ujar Pandu melihat ke luar jendela. "Kalau gini kita nggak akan kena macet."
"Iya, kamu ..." Abhimanyu mengerjap berkali-kali. Tak mengerti apa yang tengah terjadi, tetapi Abhimanyu terasa begitu mengantuk. Bahkan ia tak segan menepuk pipinya sendiri kala matanya hendak memejam. "Kamu bisa ... cepet sampai ... tujuan."
Pandu mengernyit tak mengerti. "Aku doang? Om Abhi?"
"Om Abhi juga, dong," balas Abhimanyu cepat. "Emangnya tadi Om Abhi ngomong apa?"
"Om Abhi bilang kalau cuma aku yang sampai tujuan."
"O-ohh ..." Abhimanyu tertawa. "Om Abhi pasti salah ngomong."
Pandu tak menjawab lagi dan kembali fokus pada pemandangan dari balik jendela mobil, tetapi ia membelalak kaget begitu mobil bagai oleng ke kanan. Ia menoleh pada Abhimanyu takut-takut. "Om Abhi, nyetirnya hati-hati."
"Iya, sayang." Usai berucap demikian, Abhimanyu berusaha membuka matanya lebar-lebar sembari menegakkan punggung.
Kok gue jadi pusing gini, sih. Batinnya bertanya.
Selang beberapa menit tak ada yang membuka suara. Abhimanyu fokus membelah jalanan yang terasa bagai miliknya sendiri, tetapi rasa kantuk dan pusing dalam diri yang tiba-tiba menjajal itu tak dapat lagi terkendali. Abhimanyu seperti lupa dengan apa yang tengah ia lakukan hingga memejamkan matanya.
Belum lama ia memejamkan mata, Pandu berteriak. "OM ABHI AWAS!!!"
Abhimanyu terkejut bukan main melihat truk di hadapan mobilnya, namun yang semakin membuatnya membelalak adalah pedal rem yang tak menunjukan fungsinya kala diinjak.
Remnya blong?!! batin Abhimanyu menjerit.
Mau tak mau Abhimanyu dengan cepat memutar setir untuk menghindar, tetapi yang terjadi justru mobilnya beralih pada jalur berlawan arah. Abhimanyu kelabakan dengan apa yang terjadi sementara Pandu duduk dengan tegang menyaksikan tindakan lelaki itu.
Meski jalanan sepi, namun tetap saja ada satu hingga lima kendaraan yang masih melintas. Salah satunya ada di jalur berlawanan ini, Abhimanyu kembali dikejutkan oleh kendaraan yang berjalan ke arah mobilnya. Kendaraan itu sudah mengirimkan bunyi klakson secara brutal dari jauh dan Abhimanyu kembali memutar setir begitu rem masih tak mau membuat mobilnya berhenti, menyebabkan bunyi decitan nyaring antara ban dan aspal.
Alih-alih kembali ke jalur semula, mobil Abhimanyu yang sebelumnya tak diperkirakan untuk melakukan perputaran secara tiba-tiba itu menyerempet tepian jalan. Kemudi setir yang masih digenggam Abhimanyu kembali terputar untuk menjauh.
"OM ABHI!!!"
Usaha Abhimanyu untuk membuat mobilnya berjalan lurus telah ia kerahkan sekuat tenaga, dan pada akhirnya mobil berhenti sesuai apa yang diharapkan meski harus dengan bantuan beton ukuran sedang dan menyebabkan bunyi bentur nan keras.
Malam ini, tanpa adanya mobil lain yang tersenggol, mobil Abhimanyu berakhir menabrak pembatas jalur hingga ringsek bukan main pada bagian depan.
•••
Di tempat lain, Lembayung dan Jibran menghela napas lega usai berjam-jam hanya berkutat pada meja persidangan nan panas.
"Akhirnya selesai juga," ujar Lembayung mendudukan diri di meja kerjanya.
Jibran mengangguk cepat seraya melepas jubah hitam lalu duduk pula. "Kasus ini bener-bener makan waktu banget ya, Mbak."
"Iya. Untung hasil hasilnya memuaskan kita." Penuturan Lembayung dibalas anggukan kembali oleh Jibran. "Ya udah. Gue mau langsung pulang, lo masih mau di sini?"
"Enggak, gue juga mau pulang," jawab Jibran. "Biar gue anterin lo, Mbak."
"Ya udah, lagian udah malem juga, nih. Abhi sama Pandu pasti udah pulang."
Jibran menautkan alisnya. "Pulang? Emang mereka pergi ke mana?"
"Pandu minta Abhi buat nonton film Spiderman yang lagi tayang terus mereka juga sekalian makan malem. Pasti mereka udah pulang, sih."
"Ohh, gitu. Eh, Pandu udah tidur belum, ya? Gue mau ngobrol sama dia dulu deh sebelum balik."
Lembayung tertawa. "Semoga aja belum."
Selesai keduanya membereskan barang dan hendak beranjak meninggalkan ruang kerja, handphone Lembayung mendadak berdering. Itu panggilan dari handphone Abhimanyu dan Lembayung segera menjawabnya tanpa ragu.
"Abhi, kamu udah di rumah?"
Hening. Lembayung hanya mendengar suara sesegukan dari sebrang sana.
"Halo, Abhi?"
"Bayung ..."
Kening Lembayung mengerut sempurna. "Abhi? Abhi, kenapa suara kamu kayak gitu?!"
"Bayung, Pandu ..."
"Kenapa?! Pandu kenapa?!!" Seruan Lembayung membuat Jibran terkejut dan penasaran apa yang dikatakan oleh Abhimanyu. "APA?!!!"
Sungguh saat itu juga rasanya jiwa Lembayung seakan ditarik ke atas langit dan menyisakan raganya yang lemas, saat itu juga jantungnya terasa berhenti berdetak. Bola mata Lembayung beralih membesar bukan main, ia bahkan membekap mulutnya sendiri hingga membuat Jibran semakin tak mengerti dengan sikap perempuan itu.
"J-J-Jibran ..." Suara Lembayung mulai bergetar usai menutup sambungan telepon. Tungkainya sungguh lemas hingga tubuhnya hampir tersungkur jika saja Jibran tak menahan kedua pundaknya.
"Kenapa, Mbak?"
"Ji-Jibran, Pandu ... Pandu ..."
"Iya, Pandu kenapa?"
"Pandu kecelakaan!"
- to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through with U | Bluesy ✓
General FictionGuratan takdir membuat Lembayung mengalami keterpurukan. Dikucilkan masyarakat, diasingkan keluarga, serta hilang kepercayaan pada orang-orang. Di samping itu, Abhimanyu mati-matian membawa Lembayung keluar dari situasi tersebut. Orang-orang juga be...