Diary Merah Jambu

4.2K 160 8
                                    


Lumajang, 1998.

Lumajang, Jawa Timur. Di kota inilah aku di lahirkan, dibesarkan dan ingin ku pijak sampai akhir nafas. Sosok yang sederhana dan bersahaja, cocok untuk menggambarkan kota ini. Sebagian besar penduduk sibuk menyeburkan diri dalam lumpur sawah sejak pagi sampai petang. Sebagian lagi sibuk menggiring sapi kesana kemari.

Mereka tak pernah mau tahu model baju apa yang paling trend saat ini. Karena itulah toko-toko baju hanya ramai saat menjelang lebaran. Bukan karena mereka tak punya cukup uang untuk membelinya. Tapi karena bagi mereka itu tidak penting. Mereka lebih memilih investasi dengan membeli tanah, perhiasan emas atau menambah jumlah ternak sapi.

Aktifitas perdagangan terpusat di jantung kota. Tapi kalian takkan menemukan mall-mall besar di kota ini. Kotaku hanya memiliki beberapa supermarket skala sedang dan toko kelontong. Sebagian besar pemiliknya adalah para tacik. Entah bagaimana sejarah awal mula toko-toko di jantung kota di huni oleh kulit putih bermata sipit. Setauku sejak kecil sudah begitu.

Kota ini, tempatku akan selalu kembali, sejauh apapun aku melangkah nanti. Kota yang membuat hatiku tenang tiap melihat senjanya. Membuatku tak bosan untuk memperhatikan setiap jengkal sudutnya. Senang berlarian menyusuri hamparan sawahnya. Sungguh hatiku telah terpatri disini.

Tok...tok...tok...suara pintu kamarku di ketuk seseorang.
"Nduk...buka pintunya! kamu kenapa? Di olok teman sekolahmu lagi?" Teriak ibuk di balik pintu. Huaaa...ak cuma bisa mengiyakan dengan tangisan yang makin meraung panjang dan melengking sampai mencapai nada oktaf tertinggi.

"Biar Biyan yang bicara sama Bita, buk" hatiku mulai tenang ketika mendengar suara kakak semata wayangku.

"Bita...buka pintunya. Ini mas Biyan" aku pun segera berjalan tiarap keluar dari kolong tempat tidur lalu membuka pintu kamar. Tapi ternyata ibuk masih disana. Mulutku langsung menyungut. Seperti yang sudah-sudah, ibuk selalu mengerti bahwa aku butuh waktu berduaan dengan kakakku.

Rasa cemas di wajahnya mulai mencair " Ibuk tunggu di meja makan ya. Kita makan sama-sama" lalu ibuk mencium keningku. Meninggalkan kami berdua. Mas Biyan segera masuk kamar.

"Adek kenapa lagi? Kok kata ibuk pulang sekolah langsung nangis trus ngunci diri di kamar?" Aku hanya diam. Menghela nafas panjang. Masih berat untuk menceritakan karena harus mengingat kembali peristiwa menyakitkan hati di sekolah tadi. Huuuhh...

"Di ledek robby lagi?" Aku menggeleng.

"Ehmmm... Shinta?" Aku menggeleng lagi.

"Ow. Mas tau. Pasti Romeo, ya kan?" Aku langsung mengangguk dan kembali menangis deras.

"Eh, udah SMP, masih cengeng" mas Biyan mengelus kepalaku. Susah sekali pikir dia, punya adik satu, cengengnya gak ketulungan.

"Dia bilang aku jelek. Kurus kayak tengkorak berjalan. Kulitku hitam kayak kerbau. Ketiakku bau kayak comberan" makin kencang aku menangis. Sungguh masih jelas di ingatan, raut wajah Romeo saat mengucapkan itu.

"Eh, berani betul dia olok adek begitu. Adek kan ayu dan pinter. Kesayangan keluarga" entah benar dari hati atau tidak. Tapi kata-kata mas Biyan memang selalu bisa menenangkan.

"Benar mas?"

"Iya dong. Bita adalah kebanggaan ibuk bapak dan mas Biyan. Bita kan anak pintar. Nilai rapornya bagus terus" mas Biyan tersenyum. Tapi hatiku tak begitu saja percaya kata-katanya. Pasti dia hanya ingin menghibur hatiku saja.

"Tapi cuma mas Biyan yang bilang aku ayu. Semua teman di sekolah bilang jelek" mas Biyan diam sejenak. Lalu seketika ku lihat raut wajahnya mendadak berubah. Seperti Thomas Edison yang tiba-tiba menemukan ide untuk penemuan baru.

"Ah, bukan mas saja yang bilang begitu. Teman mas juga kok" aku mengernyitkan kening.

"Teman mas? Siapa?" Aku banyak mengenal teman-teman mas Biyan. Karena mereka sering main ke rumah.

"Ehmmm...namanya....Edu. ya, Edward" ku lihat senyumnya mengembang ragu. Nama itu sama sekali tidak pernah ku dengar. Seperti nama orang barat sana. Sedangkan yang ku tahu nama teman-teman mas Biyan, seputar Joko, Wahid, Roni dan yang paling bagus Ryan.

"Dia gak pernah kesini. Kamu belum pernah ketemu sama dia"

"Kalo ndak pernah ketemu, kok bisa bilang aku ayu?"

"Ehmmm...itu. Adek kan pernah ke sekolah antar buku mas yang ketinggalan. Nah,waktu itu dia liat"
Aku hanya ber-o panjang.

"Ya udah, makan yuk. Mas udah laper. Tadi pulang sekolah langsung ke kamarmu. Bahkan mas belum ganti baju" aku mengangguk mengiyakan ajakannya. Aku baru menyadari bahwa mas Biyan masih memakai seragam putih abu-abu.

Sejujurnya jauh di lubuk hati, saat ini sangat girang. Ada orang lain yang menilaiku cantik. Kak Edu... Edward. Nama baru dalam kamus otak, bahkan masuk ke dalam kamus hati. Kenapa rasanya hatiku tiba-tiba riang tanpa sebab? Senyum-senyum di depan cermin tanpa sebab. Entahlah, rasa apa ini. Edu...Edu...akan ku tulis namamu nanti malam di diary merah jambu ku.

Surat Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang