Maafkan daku reader...up date nya lama. Dapetin feel lagi setelah sekian lama stop itu haduh...cari inspirasinya ngos-ngosan banget.
Maunya buru-buru di end aja kisah Bita ini soalnya otak lagi penuh sama ide cerita baru. Tapi daku ga mau kerjain bersamaan takut ga maksimal hasilnya. Harus di selesaikan satu-satu. Bita dulu, baru yang lain. Selamat membaca. Semoga suka.
***
Malam Minggu datang lagi. Pacarku yang flamboyan datang menjemput ngajak kencan. Rencana awal mau dinner di kafe yang baru buka, yang katanya menu makanan western semua. Tapi aku sedang nggak selera makanan aneh-aneh, maunya masakan tradisional sejenis penyet tempe, pecek lele atau kupang lontong. Akhirnya aku beralasan sudah kenyang karena sudah makan sebelum berangkat. Akhirnya rencanapun berubah. Tapi nggak nyangka perubahan itu terlalu drastis.
"Rom, kamu masih inget Shinta?"
"Ehmmm...Shinta yang..." dahi Romeo berkerut.
"Berapa Shinta sih yang kamu kenal?" Helleh...dasar playboy. Pasti banyak Shinta yang pernah hadir dalam hidupnya. "Oke, anggap aja kamu kenal seratus Shinta di luar sana. Tapi kamu pikir, berapa Shinta yang kita berdua kenal? Hah?" Tanyaku kesal.
"Ya ampun Ay...segitunya sih kamu cemburu. Biar ada seribu Shinta yang godain, aku tetep sayangnya sama kamu aja kok"
Huwekkk...awas minggir! Aku mau muntah...muntah...muntah...someone...tolong ambilin kantong plastik.
"Pret!"
"Idih...kamu lucu deh ay kalo lagi cemburu gitu" hellow....? Aku cemburu sama Romeo? Nggak banget. Biar sampe buaya kalo ketemu sesamanya, salaman kayak semut, sumpah! Aku nggak akan pernah cemburu sama dia. Amit-amit...ehh, tapi kan dia pacarku? Bukankah seharusnya aku emang cemburu? Au ah gelap.
"Udah deh. Jangan kumat lebaynya. Aku serius. Kamu inget Shinta temen kita SMP kan?"
"Ya inget donk Ay. Kan pernah jemput kamu di salon tempat dia kerja. Kenapa emangnya kamu nanya dia?"
"Tadi pagi aku ke salonnya lagi. Sekalian pengen ngobrol sama dia. Eh, dianya nggak ada. Kata temennya sih dia udah nggak kerja situ lagi"
"Terus?" Romeo melepas jaketnya. Nggak salah dia? Malam sedingin ini malah lepas jaket. Aku aja nyesel tadi kelupaan nggak bawa. Ya aku nggak nyangka sih permintaanku merubah tempat kencan akan berakhir disini. Di bawah pohon beringin tua yang konon sudah ada sejak tahun 1920, dengan suara angin malam yang meniup dedaunannya sehingga beberapa helai luruh ke tanah.
Di tengah-tengah lapangan berbentuk lingkaran dengan rumput hijau menghampar luas di depanku. Penerangan lampu yang tak terang sempurna. Beberapa cabang jalan setapak yang di sisi kanan kirinya berbaris rapi pohon palem.
Aku bukanlah satu-satunya pasangan yang memadu kasih di tempat ini. Tiap malam minggu tempat ini ramai oleh pasangan muda-mudi maupun segerombolan anak muda yang ingin nongkrong dengan teman-temannya. Mau tahu apa nama tempat ini? Di sisi utara sana jelas terpampang plang yang bertuliskan ALUN-ALUN LUMAJANG.
"Aku nanya donk ke temennya kenapa dia berhenti kerja. Kata temennya dia lagi hamil"
"Terus?" Dia memasangkan jaketnya ke pundakku. Rupanya dia tahu kalo sejak tadi aku kedinginan. Oh so sweet banget sih pacarku. "Kamu pasti kedinginan kan?"
"Iya. Makasih ya"
"Sama-sama Ay..."
"Ya kok dia nggak undang kita ke nikahnya"
"Terus?" Kali ini dia membenahi krah kaosnya.
"Rom! Kok bilang terus aja sih?" Aku heran dengan ekspresi wajahnya yang datar dan cuek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Merah Jambu
General FictionBita belum pernah bertemu dengan Edu, tapi dia yakin bahwa dia telah menemukan cinta pertamanya. Setelah sekian lama saling berkirim surat, kenapa Bita masih saja sulit bertemu dengan Edu? Bita mulai merasa ada yang janggal dengan sosok lelaki yang...