"Hallo." Ku apit telepon genggam di antara pundak dan pipi kiri. Sedangkan kedua tanganku masih tetap sibuk di atas keyboard untuk menyelesaikan laporan.
"Hallo. Pagi Ay."
"Pagi."
"Kamu udah serahin suratnya ke Endra?"
"Belum."
"Loh kok belum? Kurang seminggu lagi. Bentar ya Ay." Suara di seberang berhenti sejenak. Terdengar suara Romeo berbicara dengan orang lain. "Jangan bilang kamu nggak jadi resign lagi." Lanjutnya.
"Jadi kok."
"Ya udah. Tunggu apalagi? Kasihkan suratnya hari ini juga."
"Iya Rom. Ini juga udah mau jalan ke ruangannya." Bohongku.
"Oh gitu. Oke deh. Nanti ku telepon lagi pas jam makan siang."
"Iya."
"Kamu makannya jangan sampe telat. Nanti sakit."
"Iya."
"Bapakmu sih pake acara pingitan segala. Aku kangen banget sama kamu. Rasanya nggak sabar nunggu hari itu tiba. Pokoknya miss you so much Ay."
"Iya."
"Loh? Kok iya?"
"I miss u to." Jawabku setengah berbisik sambil menutup ujung hape dengan telapak tangan. Tentu saja aku tidak mau jika ada orang yang lewat lalu menertawakan kalimat menye-menye seperti ini.
"Nah gitu donk sayang."
"Udah ya. Aku mau nyerahin suratnya dulu."
"Iya. Oke. I love u."
"Love u to." Bisikku sekali lagi.
"Bye."
"Bye." Lalu suaranya menghilang. Ku tarik nafas lega saat ku lihat namanya sudah tidak muncul lagi di layar ponselku.
Entah kenapa setiap dia menelepon, aku malas menjawab. Dia selalu menuntutku untuk mengikuti gayanya pacaran ala ABG lebay. Bagiku kata-kata cinta tak perlu di obral lewat kata-kata. Cukup terpatri dalam hati.
Tapi untuk teleponnya tadi, kali ini aku setuju. Sudah saatnya aku menyerahkan surat resign yang sempat ku tunda berminggu-minggu. Ya, sudah minggu depan. Tak ada waktu lagi untuk meragu. Harus hari ini.
***
Ku lihat keadaan sekitar seperti landscape foto yang buram. Teman-teman kantorku mondar mandir dan sibuk berbicara antara satu dengan yang lain. Dalam rekaman otakku saat ini seperti menonton film adegan slow motion dengan kualitas gambar yang parah. Blur!
Dua amplop di atas meja masih membuatku pusing. Sudah setengah jam berlalu, kedua amplop itu masih belum ku sentuh. Ini benar-benar sulit. Aku merasa belum siap tapi dipaksa harus siap sekarang juga.
Mau tidak mau ku raih dua amplop yang sejak tadi seharusnya sudah ku sentuh. Toh, aku sudah tidak punya pilihan.
Aku berjalan gontai menuju ruang kerja si bos. Ku ketuk pintunya tiga kali dengan sopan. Lalu ada suara sahutan mempersilahkan masuk dari dalam. Ku buka pintu perlahan.
Pemandangan pertama kali yang ku temukan adalah indahnya pantulan sinar mentari pagi di atas permukaan air Ranu Kumbolo yang tenang dan bening. Serta sejuknya embun pagi menggantung manja di pucuk-pucuk daun akasia. Amboi ... bukan main eloknya. Dan itu semua terpapar dalam satu simpul senyumnya yang menawan. Damn! I love him. I still love him. Aku tidak sanggup mengingkari itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Merah Jambu
Ficción GeneralBita belum pernah bertemu dengan Edu, tapi dia yakin bahwa dia telah menemukan cinta pertamanya. Setelah sekian lama saling berkirim surat, kenapa Bita masih saja sulit bertemu dengan Edu? Bita mulai merasa ada yang janggal dengan sosok lelaki yang...