Surat Malaka

1.3K 102 12
                                        


Hari, minggu dan bulan terus bergulir. Rasa penasaranku pada sosok kak Edu tak terbendung lagi. Tapi aku selalu gagal bertemu dengannya. Banyak alasan yang dia ungkapkan, sibuk berbagai jenis kegiatan ekskul di sekolah; latihan basket untuk pertandingan tingkat SMA sekabupaten, pengajian remush (remaja musholla), kegiatan pramuka dan kegiatan seabrek lainnya. Kesibukan sang ketua OSIS sungguh bisa ku maklumi.

Tapi aku sudah sangat terpuruk, kehilangan semangat. Tak mampu lagi menampung ketidak percayaan diri menghadapi kata-kata Romeo yang sepedas caroline reaper, jawara cabe terpedas di dunia versi guiness record.

Belum lagi tatapan Endra yang membuatku kikuk. Tatapan yang tak mampu ku artikan; menghinakah, jijikkah, meremehkankah. Wajahnya selalu sama, tanpa ekspresi, hanya bola matanya yang bergerak-gerak.

Ku perhatikan teman-teman wanitaku berangsur menyerah mencuri perhatian si Endra. Walaupun seorang Shinta yang terkenal itu, sudi bernyanyi "Aku tak biasa" nya Alda untuk Endra di depan kelas. Tapi cowok itu tetap bersikap dingin pada Shinta dan pada semua wanita.

Pernah ku dengar kesimpulan akhir mereka bahwa Endra anti wanita. Aku setuju dengan pendapat itu. Sisi baik dari sikap anti wanitanya, ternyata berdampak baik bagi Romeo. Dia merasa tak ada pesaing berat yang bisa melengserkan tahtanya sebagai the king of playboy di sekolah.

Dengan hati riang si Romeo menelusuri lorong kelas sambil menebar senyuman menggoda pada para gadis bak don juan. Kepercayan dirinya yang sempat tercabik-cabik dengan kehadiran Endra. Kini telah utuh kembali.

Endra, si manusia es dan Romeo si don juan bajakan. Dua makhluk sebangku itu sungguh serasi. Sama-sama sombong dan menjengkelkan. Tiap kali mereka melihatku seperti melihat kotoran di tengah jalan, maka mereka harus berjingkat-jingkat kaki melewatinya.

Semakin kompaknya dua lelaki ini, semakin memudarkan kepercayaan diriku. Ternyata ini berpengaruh jauh sampai pada nilai pelajaranku di sekolah yang makin menurun. Nampaknya mas Biyan bisa membaca situasi ini dengan baik.

Pada satu malam mas Biyan masuk ke kamarku.

"Bita, kak Edu titip salam minta maaf karna sibuk. Jadi belum bisa main kesini. Oya, katanya kamu boleh tulis surat sama dia kalo kamu mau. Nanti mas biyan sampaikan" Bunga yang layu bersemi kembali. Hatiku girang tak alang kepalang.

Malam itu juga. Di temani rintik hujan dan alunan lagu almarhumah Poppy Mercuri " hati siapa tak luka" dari tape bobrokku. Ku tulis surat dengan hati-hati tiap lengkung hurufnya. Penaku melenggak-lenggok dengan gemulai dan anggun bagai penari keraton.

Tiap kata ku pikir panjang dulu sebelum menulisnya. Tentu dengan hati berbunga-bunga dan dada yang masih berdegup kencang tak karuan. Semangat yang sebelumnya sempat tenggelam kini timbul kembali.

Ku tulis surat di kertas khusus. Sobekan dari diary berwarna merah jambu. Pojok atas kanan bergambar hati. Ku sampaikan bahwa sebenarnya ingin sekali bertemu dengannya sekedar berkenalan. Namun sayang sekali dia bagai hidup di selat Malaka ujung Sumatera nun jauh di sana, walau tak tahu itu dimana, bagai di negeri antah berantah. Sejujurnya kalimat itu terinspirasi dari suara Poppy Mercuri yang mendayu-dayu sendu mengiris kalbu.

Di selat malaka, di ujung Sumatera
Dua hati kita satu dalam cinta

Sejenak hatiku terhanyut kepedihan, teringat penyanyi idolaku itu sudah meninggal tiga tahun lalu di Bandung. Menyusul penyanyi idola mas Biyan, Nike Ardilla. Saat itu kami berduka hampir bersamaan. Sempat mengurung diri dalam kamar menangis sendirian. Semua kaset ku simpan rapi sampai saat ini. Ku rawat dan ku jaga dengan hati-hati.

Ku ucap terima kasih pada kak Edu karena sering menitip salam pada mas Biyan agar aku tetap semangat belajar dan tak usah peduli olokan siapapun. Betapa itu sungguh berarti.

Berakhirnya kaset Poppy Mercuri bersamaan dengan selesainya tulisan suratku. Pena meliuk indah membentuk tanda tangan anak ABG. Ku lipat rapi kertas merah jambu itu. Ku dekap sambil tersenyum sendiri. Menatap langit-langit kamar, membayangkan ekspresi wajah kak Edu saat membacanya. Lalu aku terlelap dalam mimpi yang indah.

***

Ternyata kemampuan intelektual si manusia es tak bisa ku remehkan begitu saja. Nilai terbaik kelas 2E kadang ku raih tapi kadang bertengger padanya. Nilai kami susul menyusul. Romeo? Jangan ditanya. Dia tetap nomor satu, dari belakang.

Tiap malam Jumat aku menulis surat pada kak Edu. Dengan perhitungan Sabtu siang surat itu berpindah tangan dari tangan mas Biyan ke kak Edu di sekolah mereka. Jadi kak Edu akan membacanya di malam minggu, romantis bukan?

Walaupun aku belum pernah menerima balasnya. Tak menyurutkan semangatku menulis lembar-lembar surat itu dari Jumat ke Jumat. Pasti dia sangat sibuk sehingga tak sempat membalas suratku. Tidak mengapa. Titipan pesannya pada mas Biyan sudah cukup untuk membuatku semakin bersemangat. Walau pesan-pesannya monoton. Terus semangat belajar bla...bla...bla...tapi aku senang mendengarnya.

Seperti malam ini, aku menulis surat lagi. Aku minta doa kak Edu karena besok ujian caturwulan tiga. Semoga nilaiku bagus dan bisa mengalahkan rival terberatku yang bernama Endra. Bocah tercongkak di seluruh dunia!

Selesai ku tulis, kebetulan mas Biyan melintas. Dengan tidak sabar surat itu ku serahkan padanya. Aku lanjut belajar untuk ujian besok, pelajaran favoritku, Matematika. Kali ini suara serak Nicky Astria yang menyanyikan lagu "Kau" menemaniku.

Mungkin inilah sebabnya ibuk bela-belain ngotot tawar menawar harga tape bobrok itu dengan tukang rosok keliling. Beliau tahu betul bahwa anak bungsunya tidak bisa konsen belajar tanpa alunan musik. Sedangkan kaset-kaset ini ku beli dari sisa uang saku. Dari Rp. 700 per hari, yang Rp. 200 bisa ku tabung. Setelah sebulan, aku bisa membelinya, kalo uang kurang mas Biyan dan bapak dengan suka rela menyumbang.

Prang!!! Tiba-tiba ada suara benda jatuh sangat keras. Aku mengintip dari jendela kamar. Ku lihat seseorang lari masuk ke rumah seberang. Rumah Endra? Ah, bukankah sosok tadi adalah Endra? Ngapain dia malam-malam begini berlarian? Dasar bocah aneh.

***

Pagi yang menegangkan. Bagiku ujian seperti momok menakutkan. Aku takut tidak mampu mengerjakan soal-soal ujian. Aku takut ekspektasiku pada nilai terlalu tinggi dan hasilnya mengecewakan. Apalagi jika mengecewakan ibuk bapak.

" Ibuk mana pak?" Yang ku dapati di meja makan hanya Bapak dan mas Biyan.

"Ibuk di depan, ndak tau lagi sibuk apa itu"

"Oya pak, kenapa akhir-akhir ini ibuk jadi pendiem, biasanya cerewet" ucapku sekenanya.

"Huss...kalo ibuk denger, bisa kena semprot loh dek" sahut mas Biyan.

"Kalian liat berita di TV gak? Sekarang ini lagi masa krismon. Semuanya serba mahal, makanya kalian harus irit-irit uang. Nah, tabiat ibuk mendadak jadi pendiam itu karena jadi korban krismon" bapak menahan tawa. Aku tak mengerti letak lucunya di mana. Bukankah situasi bangsa ini sedang kacau. Harusnya Bapak ikut prihatin.

Beberapa hari lalu aku melihat siaran langsung di seluruh stasiun TV, pak Soeharto pidato. Memberitahukan bahwa beliau mengundurkan diri, otomatis pak Habibi sebagai wapres naik menjadi RI 1. Banyak liputan berita tentang kerusuhan Klender, Jakarta. Ngeri melihatnya, nampak gedung-gedung terbakar. Kaca-kaca pecah. Orang hilir mudik mengangkut jasad. Walau kami tinggal jauh dari Jakarta, tapi duka nasional itu kami rasakan juga.

Beberapa hari ini perangai ibuk memang berubah, sering murung dan tak banyak bicara. Aku tak menyangka sebesar itu pengaruh kerusuhan Mei yang berawal dari kasus Trisakti itu pada ibuk. Mungkin ibuk terlalu menghayati. Seperti saat nonton Abad 21, melihat Krisdayanti menderita, ibuk meraung-raung seperti anak kecil. Serbet yang dia bawa dari dapur sudah basah oleh air mata dan ingusnya.

Selesai sarapan aku dan mas Biyan berpamitan ke Bapak. Mencium punggung tangannya. Dengan lembut dia berkata mendoakan agar aku bisa mengerjakan soal ujian dengan lancar. Lalu kami bertiga bilang Amiiinn...bersamaan.
Mas Biyan mengambil sepeda onthel, karena sekolahnya cukup jauh. Sedangkan aku cukup berjalan kaki, kadang aku di bonceng sampai depan perumahan.
Kami berdua berpamitan pada ibuk yang sedang sibuk membereskan tempat sampah.

"Ngapain buk?" Tanya mas Biyan.

"Biasalah kucing. Mengacak tempat sampah" kami mencium tangan ibuk yang aromanya tak seperti biasa.

Surat Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang