Celana Monyet

1.7K 119 2
                                        


Sejak hari itu, sejak nama Edu tertancap dalam otakku. Aku tak lagi sakit hati pada Romeo, meskipun kian hari kian rajin menyamakanku dengan binatang.

"Hadapi dengan senyuman" kata mas Biyan. Walau semakin aku tersenyum, Romeo semakin menghina binasakan sehabis-habisnya. Karena yang dia inginkan adalah jerit tangisku yang seminggu terakhir ini tak bisa ia dapatkan.

Pulang sekolah aku menceritakannya pada mas Biyan bahwa tak lagi meladeni olokan Romeo. Dia tersenyum senang melihat perubahanku. Lalu ku lihat dia agak panik ketika tiba-tiba aku bertanya "mas...ehm...kak Edu ndak diajak maen kesini? Aku pengen tau orangnya"

"Oh. Iya...iya. Kapan-kapan mas ajak kesini ya"

"Kapan mas? Besok ya?"desakku manja.

"I. Iya. Iya. Besok mas ajak kesini pulang sekolah" senyumku pun merekah, semerekah mawar merah.

Semalaman aku tak bisa tidur membayangkan wajah kak Edu. Entah apa yang merasukiku. Kenapa ada desir-desir di dada yang tak bisa ku pahami. Jantung dag dig dug aneh yang baru ku rasakan pertama kali setelah 14 tahun hidup di bumi.

Malam terasa panjang, tak kunjung berkesudahan. Rasa penasaran pada sosok kak Edu tak terbendung. Apakah dia sama seperti yang ku bayangkan, berkulit sawo matang, berbadan tegap, berrambut lurus dan mata yang meneduhkan. Apakah wajahnya serupa Marcellino? aktor protagonis dalam sinetron abad 21 yang tiap hari di tonton ibuk. Seandainya saja aku secantik Vira Yuniar, ehmmm...aku tersipu-sipu malu sendiri membayangkannya.

Atau apakah dia serupa Bryan Adams, personel Backstreet Boys. Berkulit putih, berbadan jangkung, berrambut pirang dan berhidung mancung. Mengingat namanya yang agak kebarat-baratan; Edward. Mungkin saja dia berdarah campuran, blasteran Jawa-Jerman. Mungkin saja kan?

***

Hari ini, aku setengah berlari saat pulang sekolah. Tidak peduli pada teriakan Romeo. " Hey monyet, buru-buru banget pulangnya. Mau manjat pohon pisang ya?" lalu disambut gemuruh tawa teman sekelas. Tapi aku tak peduli. Hatiku sedang riang gemilang.

Aku segera pulang, masuk ke kamar. Membongkar isi lemari yang nyaris reot, lalu mematut-matut diri depan kaca. Rambut ku sisir ekor kuda. Walau tidak serapih sisiran ibuk tiap berangkat sekolah.

Olokan Romeo tadi menginspirasiku. Jadilah padu padan ini. Kaos oblong putih dan celana monyet jeans selutut. Aku tersenyum sendiri depan kaca.

Ini adalah baju terbaikku yang dibelikan ibuk lebaran lalu. Walau ibuk awalnya tidak mau membelikan dengan alasan tetek bengek soal etika berlebaran. Aku tetap merengek. Maklumlah, di keluarga kami beli baju bagus hanya setahun sekali, yaitu saat lebaran. Momen itu adalah satu-satunya kesempatan untuk memiliki baju yang aku idam-idamkan. Walau akhirnya ibuk memaksaku tetap berkerudung saat lebaran. Hasilnya? Bayangkan sendiri betapa malunya aku di depan saudara-saudaraku.

Mengapa aku naksir banget dengan baju ini? Karena suatu hari Shinta, teman sekelasku, anak dari seorang penjagal sapi. Membawa majalah gaul ke sekolah. Dia membacanya di kelas. Semua anak mengerubunginya bagai gerombolan lalat. Salah satu orang yang bagai lalat itu adalah aku. Tubuhku yang kurus mampu menyelinap seperti seutas benang menyelip di antara gigi. Aku terpesona pada keelokan majalah itu, Aneka Yess!

Pada saat Shinta membolak-balikkan halaman per halaman dengan tidak beraturan, aku terkesan pada gambar seorang gadis cantik yang memakai celana monyet selutut. Lebih detailnya tentu saja aku tidak tahu, karena Shinta tidak akan mengijinkan siapapun menyentuh majalahnya. Barang itu adalah salah satu alat untuk mengingatkan semua orang bahwa dia adalah anak orang kaya.

Setengah jam lagi mas Biyan pulang sekolah. Aku segera keluar kamar, duduk manis di meja makan. Ibuk melotot keheranan karena biasanya di rumah aku hanya memakai baby doll batik yang warnanya sudah luntur dengan rambut terurai awut-awutan.

Surat Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang