Bapak is My Hero

1.3K 118 2
                                    

Pagi ini aku bagai bunga layu yang tak tersiram air seminggu.

"Pagi Bita...duh, cemberut aja"
Goda mas Biyan saat mulutku penuh singkong goreng. Tak bisa ku sembunyikan rasa kecewa yang masih tersisa.

"Bita... Bita...sampe segitunya kalo ngambek"

"Loh...emang Bita ngambek kenapa? Siapa yang berani bikin anak Bapak ngambek?" Sahut bapak dengan nada bercandanya. Bapakku memang humoris, berbeda dengan ibuk yang selalu serius dan cerewet (ups, maafin Bita buk).

Bapak bekerja sebagai buruh pabrik kayu. Berangkat pagi pulang sore sejak Senin sampai Sabtu. Tepat jam tujuh pagi, ada bus karyawan berwarna biru, berdiam sejenak di depan kompleks untuk menjemput Bapak dan enam temannya. Bus itu hanya berhenti lima menit, jika ada yang terlambat akan berujung naik Lin (sebutan angkot di Lumajang, berwarna merah) menuju pabrik. Sorenya bus itu akan mengantarkan Bapak pulang, tiap menjelang maghrib. Lalu Bapak akan langsung keramas untuk membersihkan sisa serbuk kayu di kepalanya.

Bapak dan ibuk adalah tipikal orang tua yang menomor satukan pendidikan anak-anaknya. Apapun akan mereka lakukan agar anak-anak mereka bisa sekolah setinggi mungkin. Sudah biasa bagi kami makan sepiring nasi dengan sepotong tempe goreng. Tapi yang penting aku dan mas Biyan lunas membayar uang SPP bulanan dan LKS (Lembar Kerja Siswa) di sekolah.

Pernah satu ketika, saat kondisi keuangan keluarga benar-benar pailit. Saat itu uang habis untuk bayar persyaratan EBTANASku kelas 6 SD. Sekolah meminta menyerahkan foto hitam putih ukuran 4×6 sebanyak 4 lembar sebagai salah satu syarat ujian. Sedangkan sepeserpun uang, malam itu bapak ibuk tidak punya.

Bapak memboncengku di belakang. Sepedanya di kayuh pelan menuju studio foto terlegendaris di kota. Bapak menyampaikan maksud hati pada si pemilik studio, untuk mencetak foto dulu. Besok saat di ambil, uang akan Bapak serahkan. Tapi si pemilik memaki Bapak tanpa ampun. Kami diusir seperti kucing kepalang basah ketauan nyolong (mencuri) ikan asin.

Anak mana yang hatinya tidak remuk menyaksikan perjuangan orang tua seperti ini. Kami di usir dengan sejuta kata-kata kasar. Tapi seakan urat maluku telah putus. Bukan malu lagi yang ku rasakan, tapi sakit hati dan benci pada kemiskinan ini. Saat itu aku berjanji pada diri sendiri. Suatu hari aku akan membuat mereka menghormati Bapak karena memiliki anak hebat.

Dalam perjalanan pulang, aku menitikkan air mata di belakang punggungnya. Tapi ku tahan agar tak bersuara. Aku tak mau beliau bersedih mendengar tangisku. Saat itu tak ku lihat kemarahan di wajah Bapak, walau sudah di usir. Kilat matanya tetap tenang dan teduh. Bahkan mengajakku bercanda lagi.

Jika Bapak bisa berjuang sehebat ini untuk pendidikanku, maka tak ada alasan bagiku untuk bermalas-malas belajar. Dunia yang keras ini akan ku taklukkan untukmu, pak. Bintang gemintangnya akan ku letakkan di telapak tanganmu. Sehingga nanti tiap orang akan tersenyum saat menjumpaimu.

"Ada deh pak..." jawab mas Biyan sambil matanya mengerling sebelah padaku. Apa maksud kerlingan itu coba? Sangat menjengkelkan!

"Duh, anak Bapak udah maen rahasia-rahasiaan. ckckck...."

"Oya. Kalian udah tau kan? Kita punya tetangga baru. Namanya pak Salim dan bu Salim. Nempati rumah bude Nimah. Kemarin sore kesini nanya sekolah SMP yang bagus dimana. Ibuk jawab sekolahnya Bita, lagian dekat dari rumah. Tinggal nyeberang perumahan"

"Emang anaknya ada yang SMP?" Tanyaku.

"Iya. Kelas dua juga. Sama kayak kamu"

Aku cuma ber-o panjang.

***

Hari ini seperti biasa. Romeo mengolokku lagi. Aku hanya diam dan cemberut. Tidak tersenyum, tidak juga menangis. Apalah arti semua olokannya itu, tidak sesakit hatiku yang tak bisa bertemu kak Edu.

Bel tanda masuk kelas berbunyi. Semua siswa duduk manis di bangku masing-masing. Lalu masuklah guru geografi. Tapi tidak sendiri, di belakangnya ada kepala sekolah dan seorang cowok yang rapih, bersih dan ya...ku akui lumayan cakep. Ralat, cakep. Cakep banget.

"Selamat pagi anak-anak" Sapa kepala sekolah.

"Pagi pak..." jawab serempak teman sekelas.

"Hari ini kelas kalian akan ketambahan murid baru. Namanya Wajendra Jati. Pindahan dari Surabaya. Kalian terima dia dengan baik ya?"

"Iya pak..." teman sekelas menjawab serempak. Cowok itu tersenyum tipis. Seperti ada ketidak relaan dia berdiri disini. Lalu bapak kepala sekolah mempersilahkan dia duduk di belakang bersama Romeo. Aduh! Kenapa dia duduk situ? Nanti dia bisa ketularan penyakit gila Romeo yang sudah stadium akut.

Ku saksikan belasan pasang mata teman wanitaku fokus tertuju pada Endra (begitu tadi dia sempat memperkenalkan diri, bahwa nama panggilannya adalah Endra). Cowok ini sekarang mengalahkan rekor Romeo sebagai cowok terganteng di kelas. Bahkan aku yakin cowok ini sekarang pasti di nobatkan sebagai cowok terganteng di sekolah. Well, lets see. Apakah otakmu seganteng rupamu.

***

Sepulang sekolah, aku sempat bingung saat ku sadari Endra membuntut. Apa maksud anak ini, ingin mengajak berkenalan atau ingin bertanya sesuatu? Setelah sampai di depan rumah aku berhenti untuk menanyakan apa maksud mengikutiku.

"Kenapa kamu membuntutiku?" Akhirnya terlontar juga kalimat itu setelah dengan susah payah ku kumpulkan nyali.

Oh....betapa sombongnya dia. Hanya melewatiku begitu saja tanpa menoleh sedikitpun dan tanpa ekspresi apapun. Lalu dia berbelok menyeberangi jalan kompleks perumahan. Masuk ke dalam rumah bude Nimah. Oh, aku baru ingat kata mama tadi pagi. Rupanya dia anak pak Salim si tetangga baru.

Hemmm... malu yang tak tertanggungkan. Cowok itu benar-benar melewatiku begitu saja seolah aku hantu tak kasat mata. Kamu pikir kamu siapa? Selamanya aku tak sudi bicara padamu lagi. Sungguh!

Surat Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang