Gara-gara jam weker rusak, aku bangun kesiangan. Sejam lebih lambat dari biasanya. Bagiku semenit saja saat pagi sangat berharga karena tempat kerjaku jauh. Jam delapan pagi aku masuk kerja, jam enam aku berangkat dari rumah, jam setengah enam aku mandi dan berdandan, jam lima aku bantu ibu mencuci baju dan membersihkan rumah, jam setengah lima jam wekerku berteriak membangunkan tuannya. Suaranya yang keras dan serak benar-benar membuatku serta merta terbangun, buru-buru ingin mematikannya. Dia bagai seorang ibu tiri jahat yang membangunkan anak tirinya tanpa ampun.Pagi ini tidurku terlena nyenyak, tak ada suara mesin weker berkarat yang menyeruak memecah mimpi indah. Aku meringkuk hangat di bawah selimut di antara dingin yang menguasai musim penghujan. Mimpi-mimpi indah membuaiku dalam temaram lampu kamar. Sangat nyaman, sampai tiba-tiba terdengar gedoran keras di pintu.
"Bita...! bangun! Udah siang. Kamu libur kerja?" ah, jam weker itu benar-benar telah menjelma menjadi ibu tiri, gumamku di hati. Eh, bukan, suara itu sangat tidak asing; suara ibuk! Tokoh kedua yang membuyarkan mimpi-mimpi indahku selama ini, setelah jam weker keramat itu. Nyawaku kembali terkumpul pelan-pelan.
"Hemmm...ndak lah buk. Bita kerja. Ini kan masih rebo"
"Trus kok belum bangun?"
"Kan masih jam tiga" ku lirik jam weker di atas meja. Jarum pendeknya menunjuk dengan tegas di angka tiga. Jarum panjang di angka satu.
"Jam tiga dari mana? Buka jendelamu! Ini sudah jam setengah enam!" atas saran ibuk ku toleh jendela, samar-samar tipis cahaya matahari berebut menembus tirai. Dengan malas aku bangun dari kasur menuju jendela. Ibuk pasti salah, pikirku. Wekerku walau sudah peyot, dia selalu tepat menunjukkan waktu.
Saat tirai biru dongker ku buka, aku di serbu gerombolan sinar matahari tanpa ampun, mereka seperti gembira tak terkira memenuhi setiap sudut ruang kamar. Detik itu aku tersadar, weker antikku yang di belikan bapak sebagai hadiah ultah ke-9, benar-benar sudah almarhum. Semoga dia hanya mati suri, amiiin...
Mataku terbelalak terkejut saat teringat perkataan ibuk. Ini jam setengah enam, biasanya setengah jam lagi aku sudah berangkat kerja. Langsung ku sambar handuk lari ke kamar mandi. Tak ku hiraukan ibuk yang masih mengomel di depan pintu kamar.
"Anak gadis jam segini baru bangun, kalo rejekinya di patok ayam baru tau rasa!" Akhirnya mandi ala bebek, celup-celup bentar, selesai. Aku segera ganti baju dan berpamitan pada ibuk.
"Maaf buk. Hari ini Bita ndak bisa bantu cuci piring dan nyapu rumah"
"Iya ndak apa. Asal ndak tiap hari" jawab ibu kesal. Aku berlari-lari ke jalan besar. Celakanya, setengah jam menunggu tak satupun bus menunjukkan batang hidungnya. Bus langgananku sepertinya sudah berangkat. Dudukku tak tenang di halte, lebih banyak berdiri di tepi jalan.
***
"Matilah kau Bit, kau di panggil pak bos ke ruangannya. Dia tadi tanya siapa yang belum datang. Sepertinya dia marah" wajah Ayu serius memandangku. Tapi dia memang si majas hiperbola, suka melebih-lebihkan dan membesar-besarkan masalah dengan tujuan menakut-nakuti orang lain. Istilah orang jawa "kricikan dadi grojogan", tetesan air hujan dari atas genting bisa dia bilang air terjun Niagara. Mendadak kepalaku pening karena bingung. Bukankah pak Donny sudah resign, lalu bos siapa yang di maksud Ayu?
" Bos baru. Penggantinya pak Donny. Orangnya galak!" Ayu menjelaskan dengan mata melotot.
Sepertinya si bos baru ini pembunuh berdarah dingin. Penjelasan Ayu membuatku membayangkan wajahnya seperti tokoh pak Raden di film si Unyil, lelaki paruh baya bersuara berat berkumis tebal. Perawakannya tegas dan seram. Dia tidak akan mentolerir kesalahan karyawan sekecil apapun. Orang bilang perfeksionis. Ya, argumenku pasti benar. Tidak salah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Merah Jambu
Ficción GeneralBita belum pernah bertemu dengan Edu, tapi dia yakin bahwa dia telah menemukan cinta pertamanya. Setelah sekian lama saling berkirim surat, kenapa Bita masih saja sulit bertemu dengan Edu? Bita mulai merasa ada yang janggal dengan sosok lelaki yang...