Akhirnya bisa melanjutkan novel ini. Terima kasih untuk kalian yang sabar menanti. Ku dedikasikan pada seseorang yang telah membuatku semangat menyelesaikannya @mbak misna. Karenamu, aku ngebut sampai pagi. Thank you.
Lumajang, 2007.
Akhirnya sarjana ekonomi ku sandang. Sungguh sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan gelar pendidikan terakhirku di kabupaten ini. Jumlah lowongan kerja terbatas namun jumlah pelamar makin meningkat. Tentu saja penyebabnya adalah jumlah kantor atau pabrik hanya sedikit. Sempat terpikir untuk mencari kerja di kota besar. Tapi itu terlalu jauh. Aku tak tega meninggalkan bapak ibuk yang makin sepuh. Sedangkan Mas Biyan tidak di rumah, dia bekerja di perusahaan kontraktor Jakarta. Dia semakin jarang pulang. Gaji pertama dia belikan hape untuk bapak agar bisa memperlancar komunikasi dengan kami. Setidaknya seminggu dua kali dia mengabarkan keadaannya di sana. Dia sering bercerita tentang pekerjaan, teman kantor, teman kosan, tapi ketika Bapak bertanya tentang teman wanita, mas Biyan selalu mengalihkan pembicaraan. Bapak dan ibuk mulai resah memikirkan nasib asmara mas Biyan. Dengan pekerjaan yang mapan dan usia yang sudah matang, belum ada tanda- tanda dia minat pada perempuan manapun sedangkan orang tuaku rupanya ingin segera menimang cucu.
Setelah empat bulan menganggur, aku diterima kerja di pabrik garmen di kota sebelah, Probolinggo. Terpaksa aku harus naik bus pulang pergi. Walau lumayan jauh, sama sekali tak terpikirkan mau ngekos. Aku tetap ingin melihat bapak ibuk tiap hari. Mencium tangan mereka setiap berangkat kerja seperti yang telah ku lakukan bertahun-tahun sejak TK.
Sebagian besar gaji ku serahkan pada ibuk untuk membeli kebutuhan rumah. Mas Biyan juga tiap bulan transfer ke rekening bapak. Al hasil, mobil pengangkut elektronik dan furniture sering mampir rumah. Mereka susah payah menenteng televisi 28 inch, kulkas dua pintu, mesin cuci 8 kilogram, lemari pakaian, sofa baru dan spring bed ke dalam rumah kami yang makin lama makin terasa sempit.
Aku meminta bapak agar pensiun dini dari pekerjaan yang terhitung berat di usianya sekarang. Tapi beliau menolak. Selama beliau masih mampu, pantang mundur katanya. Watak bapakku memang begitu, akhirnya bisa ku pahami. Aku hanya bisa menyaksikan tubuhnya yang mulai renta berangkat kerja sambil ku tahan air mata. Sedih menyaksikan beliau harus tetap banting tulang di saat anak-anaknya sudah mampu memenuhi kebutuhan rumah. Mungkin ini salah satu hal penting bagi lelaki yang disebut dengan harga diri.
Setahun pertama bekerja, semua berjalan baik. Rekan-rekan sangat baik dan mudah di ajak kerjasama. Posisiku adalah staf junior di departemen keuangan. Namanya pak Donny, beliau managerku. Orang yang bijak dan baik, serta yang di tuakan di kantor. Lima belas anak buahnya menaruh hormat padanya. Bahkan departemen lain juga segan. Sampai suatu hari, tepat setahun aku bekerja untuknya. Dia resign karena harus kembali ke kampung halaman di Kalimantan. Ibu beliau sedang sakit keras. Betapa dia memberi contoh yang baik, sebagai anak berbakti rela meninggalkan pekerjaan dalam posisi menjanjikan demi merawat ibunda tercinta. Pada hari terakhir bekerja kami mengantarnya sampai keluar gerbang, lalu menangisinya tiada henti seolah takkan pernah berjumpa lagi. Persis seperti anak ayam kehilangan induk. Setelah beliau pergi, posisi manager kosong, membuat kami kalang kabut menyelesaikan semua pekerjaan.
***
Lumajang, 2009.Saat pulang kerja. Ibu menyerahkan surat undangan. Setelah ku baca ternyata itu undangan reuni SMP. Surat undangan itu membuatku mengingat masa lalu yang buruk semasa SMP dulu. Aku yang kuper, tidak punya teman, selalu di hina, di cemooh, bahkan di anggap barang najis yang haram di sentuh. Masihkah aku harus menghadiri acara itu? Tapi untuk apa? Untuk mengeruk kembali kenangan suram yang telah ku kubur dalam-dalam?
Orang ramai berlalu lalang. Tapi otakku tak bisa mengingat mereka semua. Sudah ada yang menggendong anak dan membawa suami atau istri. Hanya sedikit dari mereka yang masih bisa ku ingat. Mungkin otakku sudah full memory, jadi kenangan di jaman SMP sudah tergeser.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Merah Jambu
General FictionBita belum pernah bertemu dengan Edu, tapi dia yakin bahwa dia telah menemukan cinta pertamanya. Setelah sekian lama saling berkirim surat, kenapa Bita masih saja sulit bertemu dengan Edu? Bita mulai merasa ada yang janggal dengan sosok lelaki yang...