Seragam Putih Abu-Abu

1.2K 110 4
                                    


Lumajang, 2000.

Ku pandangi seragam itu, kemeja putih dan rok abu-abu. Di lengan kanan ada tulisan SMAN 02 Lumajang. Aku tak menyangka bisa masuk ke SMA terbaik di kotaku.

"Bita...ayo cepat. Nanti terlambat" teriak Bapak dari luar kamar.

"Sebentar pak" aku segera memakai seragam baru.

Bahkan hari ini bapak sengaja cuti kerja. Hanya untuk mengantarku ke sekolah ternama itu. Aku bahagia melihat raut wajahnya yang bersemangat seakan bangga pada sang anak bungsu.

Mas Biyan juga tidak kalah membanggakan. Dia masuk ke Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, jurusan tekhnik sipil. Malam sebelum dia berangkat ke Jogja, aku melepasnya penuh lelehan air mata.

"Nanti kalo Bita kangen mas Biyan gimana?"

"Adek bisa kirimi mas surat, atau telepon ke asrama. Tapi jangan sering-sering, telepon interlokal mahal"

"Mas...jurusan tekhnik sipil itu apa?"

"Ehmm...." mas Biyan menggaruk kepala yang ku rasa tidak gatal, matanya menerawang ke atap kamar. "Sepertinya tidak jauh berbeda dari Pegawai Negeri Sipil dek, sama-sama sipilnya. Mas juga kurang tau jelas, kemaren waktu tes asal pilih aja"

"Wah hebat ya mas. Nanti kalo udah kerja pasti gajinya banyak"

"Amiiin...doain mas cepat lulus ya dek. Biar bisa kerja bantuin bapak beli rumah ini"

"Iya mas..." aku tersenyum pesimis.

Sudah bertahun-tahun kami ngontrak di rumah ini, rasanya tak ada rumah lain yang senyaman disini. Tapi kami selalu takut kalo sewaktu-waktu si pemilik rumah tidak mengontrakkan rumah ini lagi.

Nama pemilik rumah ini pak Bambang, beliau orang yang ramah dan baik. Beliau adalah pengusaha jual beli mobil bekas. Rumahnya banyak, di Lumajang ada tiga, termasuk rumah ini. Ku dengar di Malang juga ada dan yang paling besar di Surabaya. Tapi sayangnya, gosip berhembus bahwa ada istri di tiap kota.

Bapak mengayuh sepedanya tidak seperti biasa. Ritmenya lebih cepat. Sampai di depan sekolahku yang baru, ku lihat peluhnya bercucuran. Nafasnya tersengal-sengal.

"Syukurlah, kamu belum terlambat nduk"

Sejenak kami membisu. Takjub pada keangkuhan gedung sekolah yang berdiri kokoh. Halamannya luas. Tepat di tengah berdiri dengan malas, sebatang pohon beringin yang aku yakin usianya lebih tua dariku. Tanganku seorang diri takkan sanggup memeluk sampai penuh. Ranting dan daun menjuntai ke tanah.

"Tapi kata orang-orang. Sekolah di sini mahal pak. Peralatan sudah canggih" sejujurnya aku kepikiran. Bagaimana bapak dan ibuk nanti membiayai sekolahku dan mas Biyan. Sungguh tak sanggup kubayangkan.

"Ah...rejeki itu gusti Allah yang atur nduk. Yang penting kamu sekolah yang bener, sholat yang rajin. Doain rejeki bapak lancar" kata-kata bapak sesejuk berdiri di tepi pantai kala senja. Semilir angin serasa lembut menyapu wajah.

"Ayo pak. Ikut masuk" ku gandeng tangan bapak yang kasar akibat menggergaji kayu tiap hari.

"Apa kamu ndak malu? Kayak anak TK aja. Liat tuh temen-temenmu. Ndak ada yang bawa orang tuanya" aku hanya tersenyum. Lalu ku lingkarkan tanganku pada lengan bapak. Bahkan aku sedikit menyeret. Bapak harus tahu, aku tak pernah malu. Bahkan sangat bangga memilikinya. Lelaki hebat bertubuh kurus, berkulit hitam legam, bertangan kasar, berrambut hampir botak ini adalah Bapakku. Ingin ku teriakkan pada dunia, dia Bapakku.

Aku menyeret bapak kesana kemari untuk melihat tiap sudut sekolah. Ruang kelas dari kelas satu sampai kelas tiga, ruang laboratorium, ruang praktek komputer, parkiran, kantin, musholla bahkan kamar mandi. Hampir semua pasang mata siswa maupun guru tak lepas dari kami, tapi aku tak peduli. Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk mencegah kami.

Surat Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang