Aku puisi,
Yang terlahir dari jiwa sepi
Merana di tinggalkan sendiri oleh cintaAku puisi,
Yang tertuang untuk hati penuh tanya dan ragu akan ketulusanAku puisi,
Tergores dari tinta hitam pekat, sepekat relung tak bernyawa
Berbaris bait sendu luka mendalam
Dan untaian kata tentang remuknya harapanAku puisi,
Yang hanya dibaca, tanpa dimakna
Terbuang bersama robekan-robekan kenangan manis yang kini telah usang dan tak berartiAku puisi...hanya puisi...yang tersisih dan terlupakan
Entah aku harus sedih, marah atau bahagia. Tiga rasa itu kini sedang menerjang bersamaan tanpa ampun. Hatiku hancur berkeping-keping bagai di hajar ribuan palu godam. Sakit yang tak bisa dilukiskan, hanya karena secarik kertas berisi puisi yang ku temukan terlipat rapi di bawah keyboard komputerku.No name. Dari siapa, untuk siapa. Mungkin bagi orang lain itu menjadi tanda tanya. Tapi tidak bagiku. Aku mengenal betul bentuk tulisan tangan puisi ini, masih sama persis seperti sebelas tahun silam.
Hanya dia, lelaki satu-satunya yang berbicara denganku lewat bait puisi. Sudah sekian lama dia berhenti mengirimiku puisi. Lalu kenapa sekarang dia melakukannya lagi? Untuk apa?
Apakah untuk membuatku merasa bersalah karena telah meragu pada ketulusan cintanya? Menenggelamkanku dalam kubangan sesal yg dalam karena telah meninggalkannya untuk merengkuh hati yang lain? Membuatku dilema antara memilih dia atau Romeo?
Jika itu tujuannya, well done! Dia sukses membuat perasaan ini porak poranda. Rasa bersalah dan sesal menyergap dada ini sampai sesak. Pasokan oksigen di sekitarku sudah nihil. Aku sulit bernafas.
Aku tak mungkin bisa membalikkan waktu di saat Endra melamarku bagai menawariku teh manis itu. Andai saja saat itu egoku tak bergejolak karena aku kesal sudah merasa dia permainkan. Andai saja saat itu aku tak congkak dengan berpikir dia harus berjuang mendapatkan cintaku. Andai saja aku begitu mudah memaafkan dan memahami alasan mengapa dia nekad menjelma menjadi Edu. Andai saja....andai saja...Arghh!!! The stupid Bita.
"Redakan hunjaman sesal, Bita. Semua belum terlambat. Ini tentang masa depanmu. Kamu yang menentukannya sendiri! Songsong kebahagiaanmu!"
"Sambutlah aku Ndra. Aku akan datang untuk menulis puisi kita berdua. Puisi tentang cinta pertama dan terakhir yang dramatis romantis. Puisi abadi tentang bahagia milik kita"
"Romeo? Selesaikan nanti. Egois? Maafkan aku. Ini tentang hati"
Dengan begitu yakin, aku berdiri. Meninggalkan meja kerja lalu mantap melangkah menuju ruang kerja si bos tercinta. Karena di dalam ruang itu ada separuh jiwaku bersemayam. Aku ingin meraihnya lagi, menautkan kisah cinta pertama kami yang begitu manis. Tentang Romeo? Aku bisa menyelesaikan nanti secara baik-baik. Aku tak lagi peduli apakah dia bisa menerimanya atau tidak. Biarlah dia menjulukiku wanita egois dan kejam. Aku sudah cukup kejam selama ini pada Endra dan diriku sendiri.
Aku terlalu bersemangat untuk melangkah. Seolah ratusan tenaga kuda merasuki tubuh. Aku sampai terlupa etika bawahan saat masuk ke ruang kerja atasan. Tanpa mengetuk, ku buka pintu itu dan apa yang ku lihat membuat tubuh ini mematung. Tulang-tulang ini rasanya sekonyong-konyong terlepas dari dagingnya. Lututku bergetar, bersusah payah menopang badan agar tak ambruk.
Endra? Apa yang dia lakukan dengan wanita itu? Ini kantor, dan mereka sedang berpelukan mesra. Sungguh bukan seperti Endra yang ku kenal yang dingin pada setiap wanita. Mungkinkah itu Endraku? Endra yang baru ku baca puisinya tentang sakitnya kehilangan aku? Aku tak percaya pada mataku sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Merah Jambu
Ficción GeneralBita belum pernah bertemu dengan Edu, tapi dia yakin bahwa dia telah menemukan cinta pertamanya. Setelah sekian lama saling berkirim surat, kenapa Bita masih saja sulit bertemu dengan Edu? Bita mulai merasa ada yang janggal dengan sosok lelaki yang...