Malapetaka

1K 100 6
                                    


Tak terasa besok malam adalah acara perpisahan di sekolah. Setelah seminggu yang lalu dada berdebar-debar menanti pengumuman kelulusan di sekolah. Saat di nyatakan lulus, aku dan beberapa teman langsung sujud syukur di lapangan basket. Ku dengar ada 22 siswa yang tidak lulus sekabupaten. Tapi untung, sekolahku dinyatakan lulus 100 persen. Karena itu bisa menjatuhkan kredibilitas dan reputasi sekolah.

Saat mempersiapkan kebaya yang akan di pakai besok. Pak pos datang ke rumah membawa surat. Mudah di tebak, pasti dari kak Edu. Siapa lagi kalau bukan dia. Selama ini hanya dia yang membuat pak pos mondar mandir ke rumah.

Dear Bita,

Selamat atas kelulusanmu, apalagi dengan nilai yang bagus. Semoga tercapai segala cita-cita dan bersua kembali untuk melepas rindu. Sampai suatu hari nanti kita bersatu.

Hatiku yang telah kau tawan, jagalah dengan baik. Hati yang telah kau titipkan, kemanapun ku pergi akan ku bawa dan ku pelihara.

Oh...so sweet banget. Tapi ada kesedihan yang ku rasakan disana. Kenapa seolah dia mengucapkan selamat tinggal dan takkan pernah berjumpa lagi.

Belum selesai membaca surat. Suara salam dari seseorang terdengar. Mengingat bapak belum pulang kerja dan ibuk sedang di rumah bu Salim. Ya, kalian tak usah heran. Mereka sering ke pasar bersama dan ngerumpi berjam-jam. Nampaknya bu Salim adalah orang baik. Walaupun kaya tapi tidak sombong. Beda jauh dengan anaknya yang sombong tingkat dewa. Jika emak kami lengket seperti amplop dan perangko, anak-anaknya seperti tom dan jerry. Akhirnya ku buka pintu depan. Ku dapati satu cowok tambun, satu cowok kurus berkaca mata tebal dan satu cewek berpenampilan aneh.

"Hai Bita...kangen deh" si cewek itu namanya mbak Upik, teman SMA mas Biyan. Dulu mereka sering main kesini.

"Hai..." sapaku garing. Tanpa dipersilahkan ketiga orang itu masuk. Duduk manis di sofa. Si tambun bernama mas Buntel (aku lupa nama aslinya siapa). Dia di juluki buntel karena bulat mirip ikan kembung yang di buntel-buntel. Yang kurus namanya mas Ryan, inilah teman mas Biyan yang namanya paling bagus. Walau rupa tak selalu seindah nama.

Kaki mas buntel di angkat sebelah. Seperti duduk di warung kopi. Lalu mas Ryan menepuk kakinya agar di turunkan. Tapi jawabnya hanya
" Hallah biarin aja. Cuma Bita ini" sejak dulu mereka tidak berubah, menjengkelkan!

"Keceng belum nyampe rumah? Tadi dia telpon udah nyampe terminal Minak Koncar" keceng artinya kurus. Mereka sejak dulu menjuluki masku dengan sebutan itu karena sesuai dengan postur badan mas Biyan.

"Belum" jawabku malas-malasan. Tiba-tiba aku kepikiran surat dari kak Edu yang ku geletakkan di atas kasur.

"Aduh. Suratku!" Pekikku spontan. Rupanya mereka bertiga mendengar.

"Cie...Cie...surat siapa nih?" Goda mas buntel.

"Dari mas Edu" eh, mulutku keceplosan omong. Padahal tadi bertekad merahasiakan hal ini dari siapapun. Tapi mulutku memberontak melawan tuannya.

"Edu siapa?" Mbak upik lain lagi. Dia selalu ingin tahu urusan orang. Dia tanya sampai tiga kali. Aku yakin mulutnya takkan diam sebelum ku jawab. Sudahlah. Aku menyerah melawan mereka.

"Kak Edward. Teman sekolah kalian"

Mereka bertiga saling pandang silih berganti. Mengernyitkan kening bersamaan. Mas buntel dan mas Ryan bahkan menggaruk kepala sama-sama. Mereka berbisik-bisik " Edu siapa sih. Kamu kenal gak?" Tanya mas Ryan pada Mbak upik, gadis berbaju lima warna itu mengangkat bahu.

"Mana ku tahu" jawabnya.

" Dia seangkatan kalian. Ketua OSISnya sendiri malah di lupain. Dia kuliah di ITS jurusan perkapalan sekarang" jelasku. Sejenak mereka diam. Lalu terbahak barengan. Mungkin otak mereka sudah mulai menemukan sosok kak Edu.

Surat Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang