Treffen

1.1K 106 8
                                        

Setelah penantian tiga tahun lamanya, hari ini tiba juga. Kalenderku sudah penuh dengan lingkaran-lingkaran berwarna merah. Dan tepat di angka ini, yang bergambar hati, bertuliskan Treffen. Artinya adalah pertemuan dalam bahasa Jerman. Aku sengaja mempelajari bahasa negara Adolf Hitler sang pemimpin Nazi. Gara-gara imajinasi yang melambung tinggi membayangkan kak Edu blasteran Jawa Jerman. Padahal mas Biyan sudah bilang bahwa kak Edu berdarah campuran Jawa Medan. Tapi otakku terlanjur bebal. Khayalan itu tak mau tiarap begitu saja, wajah Bryan Adams versi pribumi terus membayang.

Aku tak bisa konsentrasi sepanjang mengikuti pelajaran di kelas. Dudukku gelisah seperti saat datang bulan takut tembus ke rok. Ah, mengingat datang bulan yang ku alami pertama kali sekitar setahun lalu. Aku menangis sejadi-jadinya saat melihat warna merah menembus bagian belakang rokku. Ku pikir aku terkena penyakit parah yang tak ku sadari selama ini dan sudah stadium akhir. Ibuk dengan tenang menjelaskan apa yang sedang ku alami. Barulah aku teringat cerita teman-teman yang sudah mengalaminya lebih dulu.

Ibuk menyodorkan benda asing berwarna putih, panjangnya sekitar 25cm. Teksturnya lembut dan empuk. "Coba kamu pakai di kamar mandi" aku menuruti ibuk. Tapi karena minimnya info dari ibuk dan ketololanku. Benda yang di sebut dengan pembalut itu terpasang terbalik. Bagian perekat menempel di ... (sensor). Bayangkan sakitnya ketika aku harus melepasnya. Ah, sudahlah. Kalian pasti tak bisa membayangkan, karena pasti hanya aku di dunia ini yang memiliki kisah sekonyol itu.

Dengan langkah tergesa-gesa ku tinggalkan kelas sesaat setelah bel tanda pulang berbunyi. Tujuanku adalah parkiran untuk mengambil sepeda federal (sebutan untuk sepeda sport) kesayanganku, warisan mas Biyan sebelum berangkat ke Jogja.

" Bita...tunggu" langkahku terhenti oleh Metha, teman sebangku. Ya ampun, kalian tahu? Gadis cantik tinggi semampai ini adalah sahabat pertama kali yang ku punya. Dia tulus menerimaku apa adanya, dengan sedikit kelebihan dan kekurangan di mana-mana. Dia tidak malu memeluk badan kurus kulit hitam ini di depan umum. Dia menggandeng tanganku saat ke laboratorium, ke kantin, ke kopsis (koperasi siswa) maupun ke kantor guru.

" Main ke rumah yuk" Metha melingkarkan tangannya di pundakku. Begitulah kami, sering bermesraan di depan khalayak umum.

"Ehmm...maaf ya Met. Aku ndak bisa"

"Emang kamu mau kemana?"

"Ada deh..." jawabku malu-malu. Metha mencurigai tingkahku.

"Oh my god. Ini kan...treffen's day. Sorry, aku lupa" tak ada yang bisa ku rahasiakan lagi dari Metha. Dari A samapi Z tentangku, dia sudah tahu. Dia seorang pendengar yang baik. Walau aku menilai diriku sendiri sebagai orang gila karena jatuh cinta pada orang yang belum pernah ku temui. Jika ada pujangga beristilah "cinta pada pandangan pertama", bahkan bayangnya pun belum ku jumpa. Tapi Metha berpendapat lain. Cinta itu sebuah tabir misteri, kau takkan pernah tahu dimana dan kepada siapa akan jatuh cinta.

"Cepatlah pulang. Besok ceritakan padaku bagaimana rupa pangeranmu itu. Benarkah dia setampan Bryan Adams?" Kami tertawa bersama. Tentu saja menertawai kekonyolan imajinasiku.

Sesampainya di depan rumah. Ku lihat dua pasang sepatu di teras. Kedua pasang sepatu itu bagai kisah beauty and the beast. Tentu tokoh beast di perankan oleh sepatu biru dongker yang di jahit tukang sol dua kali milik kakak tersayang. Tokoh beauty diperankan oleh sepatu kain hitam bertali putih, nampak sederhana namun berkelas. Harganya pasti tak murah. Prediksi kuat, sepatu itu milik kak Edu. Mencerminkan si empunya yang hebat tapi sederhana. Melihat sepatunya saja tubuhku tak bisa bergerak, grafitasi bumi seakan mengikatku di ruang dan waktu yang sama. Nafasku tercekat. Jantung berdetak kencang seperti suara drum di tabuh bertalu-talu.

Sempat terpikir untuk kabur, mengayuh sepeda sejauh-jauhnya meninggalkan rumah. Tapi sampai kapan penasaranku pada pangeran impian akan berujung. Akhirnya ku tarik nafas panjang. Ku baca Al Fatihah, ayat kursi, An Nass dan Al Falaq seperti orang mau ruqyah. Ku untai serpih-serpih nyali. Perlahan tubuhku yang seakan telah menjadi gelas, ku gerakkan hati-hati. Aku takut tubuh ini pecah.

Surat Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang