12 : Inner Beauty

71 56 67
                                    

Feya berjalan kaki dengan jarak yang sudah cukup jauh, dengan wajah datar dan fokus pada arah depan. Hingga sampai di suatu jembatan yang dibawahnya adalah sungai yang cukup luas, dia berhenti sejenak. Dengan kasar dia membuka perban di tangannya lalu di lempar ke sungai. Dengan perasaan yang campur aduk, hingga membuat suatu tetesan air mata.

"Kenapa harus aku?!" Teriaknya di jalan yang sudah mulai sepi. Udara dingin yang mulai menusuk tubuh rampingnya yang hanya menggunakan baju pasien rumah sakit.

Langit bergemuruh dan turunlah butiran-butiran air yang membasahi tubuhnya, tanpa peduli dengan fisiknya yang sekarang, dia terus berjalan tanpa arah.

Rumah sakit Seol.

"Sial!!" Umpat Jay yang sudah mulai khawatir pada Feya yang tak kunjung kembali.

Saat dia menyadari hujan mulai turun, hatinya mulai gelisah memikirkan Feya yang entah kemana wanita itu pergi.

Manager Go dan asisten Zoo memasuki rumah sakit dengan membawa beberapa bungkus makanan.

"Pak... Itu tuan Jay mengapa duduk di sini?" Ucap Zoo menunjuk ke arah pria yang sedang duduk di kursi tunggu.

Manager Go dan asisten Zoo segera menghampiri pria yang tengah panik itu.

"Kenapa kau disini?? Apa Feya sedang tidur?" Lirih manager Go.

"Ah manager!!! Berikan kunci mobilmu!!" Pinta Jay dengan wajah gembira.

"Untuk apa?!"

"Cepat... Aku harus mengejar Feya!" Ucapnya lalu berlari setelah mendapatkan kunci mobil manager Go.

"Oh Feya..."

Manager Go diam sejenak. Dan dia baru tersadar.

"Pak..." Lirih asisten Zoo melihat wajah manager Go dengan bingung.

"Apa dia bilang???!!! Feya???!!" Ucapnya lalu memegang dadanya dengan nafas yang tak beraturan.

"Pak aduh jangan kumat disini," geram asisten Zoo yang sudah muak dengan sikap Managernya yang ceroboh.

Di sisi lain Jay mengendarai mobilnya dengan cepat, seraya menengok ke seluruh sudut jalanan. Dia sudah benar-benar menyesal atas perbuatannya seraya  memukul stir mobil dengan kencang.

"Kau dimana Fey.." batinnya dalam hati.

Sudah satu jam dia menelusuri jalanan, akhirnya dia melihat gadis yang sedang berjalan di trotoar.

"FEYA?!" Pekik Jay di dalam mobil dengan segera dia memakirkan mobilnya di bahu jalan lalu mengejar Feya yang tak jauh dari situ. Tanpa memperdulikan pakaiannya yang kini sudah basah kuyup.

"Fey!!!" Teriak Jay yang sudah berjarak satu meter di belakang tubuh wanita itu.

Feya membalikkan badannya, dengan tatapan teduh, rambut yang sudah berantakan, dan darah yang terus mengalir dari tangannya yang terluka.

Dengan cepat Jay berlari dan memeluk Feya dengan erat. Wanita itu semakin terisak tapi dia belum membalas pelukan Jay.

"Maafkan aku," dengan cepat Jay menggendong Feya lalu membawanya masuk kedalam mobil.

Feya masih tak berkutik dan matanya terus menatap kearah luar mobil. Jay sibuk mencari kain yang berada di dalam mobil. Beruntung dia menemukan sapu tangan yang masih bersih di kursi bagian belakang.

Jay menarik tangan wanita itu dengan lembut lalu membaluti lukanya dengan sapu tangan tersebut.

"Akan aku antar kembali ke rumah sakit," ucap Jay yang masih mengikat sapu tangan di tangan Feya.

"Tidak," ketus Feya dengan sorot mata tajam.

Jay menghela nafasnya dengan kasar.

"Antar aku kerumah lamaku," ucapanya lagi.

"Rumah lama?!" Ucap Jay dengan nada terkejut.

"Jalan saja ke alamat ini," Feya menekan layar di dalam mobil dan membuka lokasi lalu mengarahkan ke alamat yang dia katakan tadi.

Tanpa berkata-kata Jay mengangguk lalu mulai melajukan mobilnya.

Dua jam perjalanan yang mereka tempuh. Akhirnya sampai di suatu rumah yang memiliki bangunan yang cukup besar dengan cat berwarna putih, dikelilingi tanaman liar yang sudah merambat ke setiap sudut. Terlihat seperti rumah kuno yang tidak berpenghuni.

Feya turun dari mobil dan membuka pintu rumahnya yang tak terkunci itu.

Jay melihat ke sekelilingnya, terlihat barang-barang yang di tutupi kain putih, lampu kuning di setiap sudut ruangan membuat rumah tersebut semakin menyeramkan jika di malam hari.

"Kamarmu ada disana, beberapa pakaian baru milik ayahku  di dalam lemari, jika kau lapar... Masak saja di dapur sebelah sana," ucap Feya dengan datar lalu beranjak pergi menaiki anak tangga.

Jay mengangguk pelan lalu melihat ke sekeliling lagi seperti mencari sesuatu.

"Fey... Di.." ucap Jay terpotong.

"Tidak perlu bertanya di mana keluargaku, mereka semua sudah mati," ketus Feya yang terus menaiki anak tangga tanpa menoleh ke arah laki itu.

Jay menelan salivanya dengan kasar. Lalu berjalan ke kamarnya.

Setelah dia membersihkan diri dan menggunakan pakaian dari dalam lemari, Jay berjalan keluar kamar menuju dapur.

Dia membuka kulkas lalu mengambil air di dalamnya dan memanggang beberapa roti yang berada di meja makan berukuran cukup besar.

Tidak lupa dia membawa segelas susu coklat hangat dan beberapa potong roti ke depan kamar Feya.

Tok..tok..tok.

"Feya mari makan," ajak Jay dengan suara lembut.

Feya membuka kamarnya lalu menatap Jay dengan wajah datar.

"Masuklah,"

Jay lalu memasuki ruangan tersebut dan terus melihat setiap sudut ruangan yang cukup luas itu.

Mereka pun duduk di sofa dengan suasana canggung.

Jay menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ingin sekali dia menanyakan hal yang lebih dalam lagi tentang kehidupan Feya.

"Kucing Ansel mati karena ibuku," ucap Feya yang membuat mata Jay terbelalak.

"Ibu yang tidak menyukai apapun yang berada di dekat anaknya... Saat aku membawa kucing itu, aku merawatnya dengan baik... Hingga suatu saat aku baru saja pulang dari danau... Kucing tersebut sudah mati di kandangnya dengan beberapa tusukan di tubuhnya..." Lirih Feya yang mulai menundukkan kepalanya .

Jay terdiam dengan penjelasan yang diberikan Feya.

"Apa yang kau maksud terakhir bermain di pantai itu adalah ibumu?" Ucap Jay dengan hati-hati mengingat pantai yang Pernah mereka berdua kunjungi.

"Bukan."

"Dia sosok wanita hebat di mataku, wajahnya cantik dan baik sekali padaku dan hanya satu-satunya temanku dulu... Walaupun umur kami berbeda jauh... tetapi aku menganggapnya seperti ibuku sendiri, dia juga bercerita memiliki anak laki-laki yang tampan dan berjanji untuk mengenalkannya, tetapi semua itu terlambat!!" Geram Feya lalu meneteskan air matanya.

"Hh-hh... Mungkin kau akan tertawa melihat gadis yang egois, sombong, dan jahat sepertiku ternyata suka menangis?" Lirih Feya diiringin tawa dan tangisan kecil.

"Orang jahat pada dasarnya adalah orang yang kesepian," ucap Jay dengan senyuman hangat.

Feya menatap Jay dengan lekat, serasa dirinya hancur mendengar perkataan sederhana tetapi menyentuh.

-------------------

Hallo semuanya cerita gue yang update kalian bisa cek diinstagram gue @hannahurmu_
Untuk tahu tokoh dalam cerita ini, kalian bisa cek di@hanpadd disana juga banyak potongan-potongan dari cerita gue,
So don’t forget to always support my novels‼ ❤️





24HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang