Essy lebih dulu memulai ceritanya. "Awalnya, kita nyari kontrakan baru itu di kampung-kampung gitu. Soalnya. Kita tahu sendiri, anggaran untuk tempat tinggal yang udah kita kumpulin, gak banyak."
Teman-temannya mendengarkan dengan seksama.
Dari pagi, Merlyn dan Essy memang berburu rumah kontrakan baru. Karena rumah kontrakan yang mereka tempati sudah habis masa sewanya, dan harganya juga mahal. Ditambah tempatnya yang kecil dan kurang layak.Tidak hanya mencari ke kampung-kampung, tetapi juga ke beberapa perumahan menengah ke bawah. Hasil pencarian sama sekali tidak menemukan yang sesuai kriteria.
Merlyn menepikan mobil di pinggir jalan. Mereka memang mencari ketenangan untuk berpikir. Dan masing-masing disibukkan dengan mencari informasi rumah kontrakan di internet.
"Pokoknya, cari yang sesuai," kata Merlyn.
"Iya," sahut Essy. "Gue juga hafal ama selera kalian."
Tiba-tiba, selembar robekan koran terbang ditiup angin, dan menempel pada kaca depan mobil mereka.
"Ya elah!!" pekik Merlyn. "Bikin kaget aja, sih!!" Ia keluar dan mengambil koran tersebut. Kemudian mata sipitnya menangkap satu iklan baris. Sebuah rumah dikontrakkan dengan harga murah. Buru-buru ia memberitahu sahabatnya yang berkaca mata itu. "Gimana kalo kita cek ini, Sy?"
Essy membaca iklan tersebut. "Sayang ya, gak ada foto rumahnya. Tapi ada nomor teleponnya tuh. Mm... Biar gue coba telepon dulu, deh." Telepon tersambung pada suara seorang wanita yang agak parau. "Saya baca iklan di koran tentang rumah yang dikontrakkan. Apa masih berlaku?"
Pemilik Kontrakan di ujung sambungan telepon menjawab, "Ya. Rumahnya belum dikontrak siapa-siapa."
Wah pas banget. Merlyn segera mengarahkan mobil menuju alamat kontrakan itu. Essy sudah buat janji akan bertemu pemilik kontrakan di sana.
Wah! Rumahnya sangat besar. Seperti bukan rumah kontrakan. Merlyn dan Essy sempat tertegun. Sampai pemilik kontrakan datang.Ternyata seorang wanita yang sudah sepuh. Jalannya saja pakai tongkat. Tetapi ia terlihat masih sangat sehat. Bicaranya juga jelas dan tegas. Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Mak Lehah. "Dulunya, rumah ini mau ditinggali cucu saya, tapi gak jadi." Wanita tua itu bercerita.
"Memangnya, cucu Emak ke mana?" tanya Merlyn.
Mak Lehah menjawab, "Dia memilih tinggal di Kalimantan. Kerja di perusahaan sawit."
Essy juga ikut bertanya, "Kalau anak Emak sendiri, kenapa gak nempatin rumah ini?"
Dengan sabar, Mak Lehah menjawab kembali, "Anak Emak meninggal karena kecelakaan. Bersama istrinya, sekitar enam tahun yang lalu."
Essy langsung merasa tidak enak hati. "Duh, maaf ya, Mak. Saya gak bermaksud..."
Mak Lelah tersenyum. "Gak apa-apa, Neng. Sebaiknya, kalian lihat-lihat ke dalam dulu. Barang kali cocok."
Merlyn dan Essy mengikuti Mak Lehah masuk ke dalam rumah tersebut. Melihat isi rumah yang sudah lengkap dengan perabotannya, Essy sendiri sudah merasa cocok. Lalu naik ke lantai dua, dan jumlah kamarnya juga pas tujuh. Merlyn pun merasa sreg. Rumah ini seolah dibangun untuk mereka bertujuh.
Setelah itu, mereka kembali ke depan rumah, membicarakan soal harga. Ternyata luar biasa murah. Tidak sampai satu juta per-bulannya. Dari anggaran yang sudah mereka siapkan, masih ada tersisa lebih malah.
Mak Lehah lanjut bicara. "Sebenarnya, Neng. Kalo mau dibeli pun rumah ini, silakan. Saya akan lepas. Berapa pun harganya. Karena saya udah gak sanggup merawatnya."
Essy tersenyum. "Masalahnya kami yang akan tinggal di sini ini. semua perantau, Mak. Gak bisa terus tinggal di Jakarta. Jadi, karena kami merasa cocok kami mau coba tempati selama sebulan dulu. Kalau makin cocok, kami akan tambah untuk bulan berikutnya."
Mak Lehah mengerti. "Ya sudah. Kalian bisa mulai menempati rumah ini, hari ini. Ini kuncinya. Mm.. nanti kalau sudah pindahan, saya ke sini lagi. Mau kenalan sama yang bakal tinggal di sini."
Merlyn menganggukkan kepala. "Baik, Mak. Kalo gitu, kami kabarin temen-temen kami dulu. Seumpama gak ada halangan, sore ini kami udah pindah ke sini." Kedua gadis itu pamit pada Mak Lehah.
Begitulah caranya Merlyn dan Essy mendapatkan kontrakan baru ini. Sudah tidak cuma Andree yang mendengarkan. Naip, Tian, Natz, dan Rea pun sudah ikut nimbrung.
Tian berkata, "Kita ini termasuk perantau yang beruntung. Ya, gak?"
Natz seperti biasa menyahut dengan jawaban kurang nyambung. "Beruntung, dapet lotre di mana emang?"
Tian langsung menyambarnya dengan ledekan. "Di jigong looooo!!"
Membuat teman-temannya tertawa.
Natz menyahut lagi. "Hah? Di jigong ada lotrenya? Kenapa gak bilang coba? Kali aja kan, sambil ngejigong menang lotre, deh."
Tian hanya menepok jidat menanggapi sahabatnya yang kelewat lugu ini. "Aduh! Cape gue."
Keluguan Natz selalu mengundang tawa sahabat-sahabatnya. Apalagi kalau Tian semakin mengganggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR KUNTILANAK
TerrorRea tahu, ada yang tidak beres di rumah kontrakan baru ini. Bukan yang tampak di mata, namun yang ada di sekeliling dia dan teman-temannya. Satu per satu teman sekontrakan mendapatkan teror menyeramkan dari hantu wanita. Hingga mereka menemukan sebu...