Essy mulai menyampaikan informasi yang didapatnya hari ini, mengenai rumah ini. "Penjual karedok di pertigaan tadi dan Pak Tumari, kayaknya mereka tahu sesuatu, deh.. Tapi gak berani banyak cerita. Malah, Pak Tumari menyebut-nyebut nama Norman, cucunya Mak Lehah yang lagi OTW ke Jakarta."
Merlyn pun mulai bisa berpikir jernih. "Gini, gini... Kita mending tunggu yang lain pulang, baru kita bahas hal ini seutuhnya. Oke? Rasanya kurang etis kalo kita bertindak duluan. Apalagi Ardan gak tinggal di sini juga. Ya, kan?"
Sebenarnya, masalah ini tidak perlu menunggu soal etis atau tidaknya. Apalah daya, persahabatan yang begitu erat membuat mereka bertiga menganggukkan kepala.
Tian dan Andree tiba di rumah Pak RT. Ah, mereka hanya belum beruntung. Karena Pak RT juga bukan pengangguran. Beliau bekerja sebagai dosen di sebuah universitas swasta. Maka, mereka memutuskan untuk pulang. Mereka berdua hampir melewati rumah mendiang Mak Lehah.
"Itu rumah Mak Lehah kan, Ndre?" tanya Tian.
"Oh, iya." Andree membenarkan. Ia ingat rumah ini saat melayat. "Kayak ada orangnya, tuh."
Tian mengira-ngira, "Apa mungkin cucunya Mak Lehah?"
"Atau kerabat Mak Lehah yang lain?" Andree juga coba menebak-nebak.
"Bisa jadi," kata Tian. "Mending, kita samperin tuh rumah."
Andree setuju. "Ayo! Tapi, kita jangan langsung ngomongin masalah boneka itu. Basa basi dulu, lah."
"Okelah." Tian juga seiya sekata dengan Andree.
Merlyn dan Essy memutuskan masuk ke kamar masing-masing. Lelah, ingin istirahat. Sedangkan Rea masih di dalam kamarnya bersama Ardan.
"Mendingan kamu istirahat," kata Ardan. "Naik ke ranjang. Biar aku tunggu yang lain di ruang tamu. Kalau ada apa-apa, teriak aja."
Rea malah khawatir kalau membiarkan Ardan sendirian. "Jangan, Beb."
Tiba-tiba, Merlyn dan Essy keluar dari kamar mereka. Nimbrung ke kamar Rea.
"Kita berdua numpang istirahat di kamar lo ya, Re?" Essy tampak ketakutan. "Asli! Gue gak berani sendirian di kamar gue."
Merlyn pun sama. "Gue jugaa."
Rea menoleh pada Ardan. "Kita berempat mendingan stay di sini sama-sama. Sampe temen-temen yang lain pada pulang."
"Ya udah." Ardan pun menuruti kemauan Rea.
Mereka berempat pun sama-sama di dalam kamar Rea. Tampak Rea baringan di ranjangnya, Ardan terduduk di sisinya. Sedangkan Essy dan Merlyn duduk di sofa. Mereka coba sesantai mungkin hari itu. Menunggu para cowok Sunset pulang.
Tian dan Andree pulang lebih dulu, disusul Naip, kemudian Natz, hanya terpaut beberapa menit. Cerita-cerita menyeramkan yang dialami sepanjang siang tadi pun bergulir.
Tian berdiri dari duduknya. "Gak bisa ditunda lagi! Kita harus ketemu sama Norman itu, dan minta penjelasan atas semua keanehan ini."
Natz pun ikut berdiri. "Setuju!!"
"Tapi apa cucunya Mak Lehah itu udah dateng, ya?" tanya Essy.
"Udah," jawab Andree. "Tadi gue ama Tian sempet mau ke sana. Tapi kami pikir, sebaiknya kita bareng aja ke sananya, biar gak ngulang-ngulang cerita nantinya."
Merlyn pun berujar, "Pemikiran kalian sama ama kami. Kami emang nunggu kalian."
"Ya udah. Jangan buang waktu lagi. Kita ke sana." Naip pun berdiri dan menyampirkan jaket yang sedari tadi ada di punggung sofa ruang tamu ini.
Rumah Mak Lehah memang agak jauh dari kontrakan. Kalau sebelumnya mereka pernah jalan kaki ke sana. Dengan alasan biar cepat sampai, mereka pun pakai mobilnya Merlyn.
Gank Sunset plus Ardan memandangi Norman dengan beragam rasa. Pria tampan dengan penampilan yang bergaya. Bukan pria yang memakai pakaian norak, lantas dibilang bergaya. Di malam santai begini, ia mengenakan kemeja dan celana levis. Warnanya cenderung gelap. Mungkin karena masih dalam suasana duka. Menurut para gadis ini.. Norman itu ganteng.
"Rumah itu memang sedikit rumit," kata Norman memulai penjelasannya, atas pertanyaan para penghuni kontrakan tersebut.
"Bukan sedikit, Mas," sahut Rea dengan berani. "Tapi sangat rumit dan menakutkan!" Ia memang dikenal sebagai perempuan tegas dalam berbicara. "Bisa-bisanya ada mobil yang tenggelam di dasar kolam renang. Trus ruang boneka itu.. bonekanya bisa berdiri. Saya yang lihat sendiri. Bang Naip juga lihat!"
Naip pun membenarkan keterangan yang Rea sampaikan. "Ya. Banyak hal aneh terjadi di sana."
Tian ikut bicara. "Termasuk Mak Lehah yang menyerahkan rumah itu pada kami."
Norman menatap mereka satu per satu. "Rumah itu memang sudah lama berhantu, bahkan jauh sebelum saya buat masalah di sana."
Andree memicingkan matanya. "Masalah?" Sama seperti teman-temannya, ia juga ingin tahu maksud pria di depannya ini.
Norman menganggukkan kepala. Membenarkan apa yang mereka dengar. Sebuah cerita pun bergulir. Ayah Norman--namanya Rustam, yang merupakan putra kandung Mak Lehah satu-satunya adalah seorang pengrajin, pembuat boneka. Boneka hasil bikinannya dipasok ke toko-toko mainan dan toko souvenir. Ia juga menerima pesanan untuk membuat boneka. Desain khusus permintaan si pemesan. Sampai pada suatu hari, saat itu Norman masih kuliah. Rustam menerima order untuk membuat boneka khusus.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR KUNTILANAK
HorrorRea tahu, ada yang tidak beres di rumah kontrakan baru ini. Bukan yang tampak di mata, namun yang ada di sekeliling dia dan teman-temannya. Satu per satu teman sekontrakan mendapatkan teror menyeramkan dari hantu wanita. Hingga mereka menemukan sebu...