Masih ada sedikit waktu lagi untuk istirahat. Tian melihat Andree sedang sebat di teras depan. Di rumah ini memang melarang merokok di dalam rumah. Sekali pun mereka makan bareng di kafe, di restoran, atau sekedar lesehan, dilarang merokok di dalam ruangan. Kalau ada orang lain yang merokok sih, biarin aja. Yang penting bukan salah satu dari Gank Sunset.
"Gue perhatiin, lo sensi amat sama Ardan," kata Tian.
"Ah, biasa aja." Andree menyangkal sikapnya.
"Kita semua udah bertahun-tahun kenal. Sejak masih ada yang SMA, masih kuliah, yah memang juga ada yang udah kerja kayak Bang Naip." Tian memulai nasihatnya. "Kita hafal gimana sifat masing-masing. Termasuk Rea. Dulu, dia tuh cuma tahunya main gim doang di MIRC. Mana ngobrol ama kita-kita? Yah, ngobrol, cuma gak banyak. Sekarang, kita lihat dia happy sama Ardan, mustinya kita semua ikut seneng. Termasuk lo." Ia menonjok pelan bahu Andree.
"Gue sama Ardan gak ada masalah apa-apa, paham?" Setelah itu Andree berniat pergi, ketika Ardan sudah berdiri di belakang mereka. "Nguping koe?" Ia sinis lagi.
Ardan mencegah Andree pergi. "Dengerin dulu, gue mau ngomong."
Tian bersiap, seandainya ada yang bakal saling tonjok di sini.
Andree enggan berdebat dan menambah semakin rumit. Ia pun siap mendengarkan celotehan Ardan.
"Gue sayang sama Rea," kata Ardan. "Gue juga tahu elu naksir dia. Cuma, lo harus menghargai pilihannya. Dia lebih memilih gue. Karena lo adalah sahabatnya. Sebagai sahabat, kenapa gak lo biarin Rea bahagia? Seharusnya begitu, kan?"
"Jangan sok tahu deh lo!" tampik Andree, sekali lagi tidak jujur dengan perasaannya. "Karena gue sahabatnya, kalo sampe lo nyakitin dia seujung rambut pun, awas aja!"
Ardan tersenyum tulus. "Gue siap buat lo hajar, kalo sampe gue nyakitin Rea." Setelah itu melihat Andree melenggang pergi.
Tian mengacungkan jempol untuk Ardan. "Gue salut ama lo! Kita semua kenal Rea kayak apa, dan kalian emang pasangan yang serasi. Pertahanin, Bro." Ia menepuk-nepuk pundak Ardan.
Di dalam rumah, para gadis melanjutkan lap-lap perabotan rumah. Merlyn dan Essy ada di ruang tengah. Tiba-tiba, mereka berdua mendengar suara "dug" dari belakang sebuah lemari jati yang sangat besar dan tebal di salah satu sisi ruangan.
"Suara apa tuh, Lyn?" tanya Essy.
Merlyn menggelengkan kepala. Tidak tahu juga. Ia mendekat ke tempat lemari berisi peralatan makan untuk hajatan itu berada.
Dug!
Suara itu kembali terdengar.
"Coba Sy, ayo geser ini lemarinya," kata Merlyn. "Kali aja tikus."
Merlyn dan Essy pun coba menggeser lemari tersebut. Tidak bergeming. Jelas saja. Yang digeser adalah lemari berbahan kayu jati asli yang cukup besar beserta isinya. Sementara kedua gadis kerempeng itu seolah tidak bertenaga.
"Rea!" Essy memanggil Rea yang sedang lap-lap di ruang baca, tidak jauh dari ruang tengah itu. "Sini dulu deh, bantuin."
Tenaga tambahan dari Rea juga tidak membuat lemari itu berkutik.
Mereka pun memanggil teman-teman cowok, selagi mereka belum kembali nyemplung ke kolam renang. Ditambah lima lelaki, lemari itu tetap tidak bergeser.
"Coba keluarin dulu semua isinya," saran Andree.
Mereka pun mengeluarkan semua isi lemari tersebut. Menaruhnya dengan hati-hati di lantai, meja, hingga sofa. Sekali lagi, lemari kembali didorong agar tergeser. Mulai bergerak sih.
"Berarti butuh didorong berkali-kali, nih," kata Ardan yang hampir kehabisan tenaga.
Sekali, dua kali, tiga kali. Lemari itu bergeser sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya, setelah beberapa jam berusaha digeser, lemari itu bergeser sepenuhnya. Menampakkan sebuah pintu kayu berukir di belakangnya.
Mereka berdelapan pun melongo, bertanya-tanya apa isi di belakang pintu ini. Kenapa harus ditutupi oleh lemari yang begitu besar dan berat?
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR KUNTILANAK
HorrorRea tahu, ada yang tidak beres di rumah kontrakan baru ini. Bukan yang tampak di mata, namun yang ada di sekeliling dia dan teman-temannya. Satu per satu teman sekontrakan mendapatkan teror menyeramkan dari hantu wanita. Hingga mereka menemukan sebu...