Merlyn membawa sapu dan cikrak ke bagian belakang rumah. Untuk menuju ke sana, ia harus keluar lewat pintu dapur. Apa yang ia lihat? Ada kolam renang kecil di sana, namun sangat kotor. Airnya berwarna hijau ditumbuhi lumut. Keramiknya juga sudah berkerak. "Mana ya, alat penyedot airnya?" Lalu, ia melihat beberapa tuas di dinding. Ada yang berwarna merah, biru, dan kuning. Ia coba satu per satu.Tuas merah untuk menyalakan air dengan kecepatan tinggi. Tuas biru untuk menyalakan air dengan kecepatan rendah. Sedangkan tuas kuning, ketika tuas itu diputar, tampak beberapa pusaran air. Seolah menyedot seisi kolam renang.
Kemudian, pandangan mata Merlyn tertuju pada jaring pembersih kolam. Sambil membiarkan air tersedot, ia mengambil dedaunan, rumput, lumut, juga sampah yang mengambang. Seonggok lumut kena saring. Ia menggumpal seperti benang kusut. Namun panjang, seolah tanpa ujung. Merlyn tidak tahan lagi. Ia tarik lumut itu dengan kedua tangannya. Beberapa kali ditarik, ada yang aneh pada lumut itu. Ia menimbulkan noda merah di tangan Merlyn. "Kok merah? Amis lagi." Ia perhatikan warna merah noda itu. Seperti darah. Tentu saja hal itu membuatnya menjerit. Jeritannya didengar oleh Natz dan Essy.
Kedua sahabatnya itu segera mendatanginya ke belakang rumah, melihat apa yang terjadi.
"Ada apa, Lyn?" tanya Essy.
Ketika kedua sahabatnya datang, noda darah di kedua tangan Merlyn lenyap. Padahal, barusan noda itu terasa nyata. Demi tidak membuat mereka takut, Merlyn pun berlagak. "Oh, ini... Gue girang banget! Soalnya, bayangin aja, kontrakan semurah ini, gak cuma gede, tapi juga ada kolam renangnya."
Essy dan Natz pun memperhatikan apa yang Merlyn tunjukkan.
"Wah! Kita bisa pelihara ikan mujaer, nih." Natz ikut senang.
"Lah, kok ikan mujaer, sih?" protes Essy. "Napa gak cupang sekalian?" Ia lantas tertawa. "Temen-temen bakal seneng banget, nih. Secara, kita bertujuh kan suka banget berenang. Ya udah. Sekarang, kita bertiga sama-sama bersihin kolam renang ini. Kerjaan lainnya, nyusul aja."
Merlyn setuju. "Ayo!"
Natz pun setuju.
*
Sementara itu di kampus.
Rea baru sampai. Tentunya dengan dibonceng motor oleh Andree.
"Ntar balik jam berapa?" tanya Andree, sambil membiarkan sahabatnya turun dan melepas helmnya.
"Kalau sesuai jadwal sih, jam dua belas nanti udah kelar," jawab Rea.
"Pas banget, jam makan siang, tuh," kata Andree. "Tak susul, yo?"
Rea menolak. "Gak usah. Aku wes janjian karo Ardan, kok. Wes, yo. Thanks untuk tumpangannya." Ia pun meninggalkan sahabat sesama Jawa Timur itu.
Namun, Andree seolah enggan melepaskan pandangannya pada sang sahabat. Ada rasa lain di dalam hatinya. Kemudian, ia lanjut pergi ke kantor.
Rea bertemu Ardan di ruang kuliah. Dosen belum datang.
"Kamu berangkat pake apa?" tanya Ardan.
Rea menjawab, "Nebeng sama Andree. Kan cuma dia yang searah sama kampus ini."
"Oh, Andree, ya?" Dari cara Ardan menanggapi jawaban Rea, memang terdengar kurang bagus.
"Gak usah mikir macem-macem, deh," kata Rea yang membaca gelagat tersebut.
"Iya. Kita masuk sekarang, yuk," ajak Ardan.
Rea mengangguk.
*
Sementara itu, Tian dan Naip telah sampai di kantor masing-masing. Begitu juga Andree. Mereka disibukkan dengan kegiatan di bidang yang digeluti.
Tian mendampingi kliennya menjalani persidangan. Kasus pencurian mobil, sih. Dan kliennya adalah si pelaku. Memang agak rumit kali ini. Tetapi ia bekerja dengan sepenuh hati, berusaha mendapatkan hukuman yang sesuai undang-undang untuk sang klien.
Sedangkan Naip menyelesaikan program keamanan menggunakan komputer. Menghubungkan antara komputer, internet, dan kamera keamanan. Pemeriksaan identitas menggunakan sidik jari.
Di kantor dinas kependudukan, Andree melayani orang-orang yang mau membuat KTP elektronik dan kartu keluarga. Hari ini kliennya cukup banyak.
*
Saat jam makan siang, Andree menelepon Naip. Mengajak pria itu makan siang bersama di warung tegal favorit mereka. "Gue udah coba telepon Tian, tapi gak dijawab. Mungkin masih di pengadilan."
Naip setuju ikut. "Ya udah. Biar aja. Ntar kalo lapar juga dia pasti pergi makan sendiri."
Mereka berdua sudah berada di warung tegal, setengah jam kemudian. Andree memesan nasi rawon dan es teh manis. Sedangkan Naip memesan nasi campur dan es jeruk nipis. "Gue masih kepikiran soal semalem, Ndre," ujar Naip. "Masa iya, gue salah denger? Soalnya, jelas banget itu suara Natz. Kita semua kan tahu, suara tuh anak paling khas."
Andree menanggapinya dengan santai. "Emang gak mudah untuk percaya ama yang kayak gituan, kalo kita gak lihat sendiri. Ya, toh? Trus mungkin karena ini rumah baru kita tempatin, jadi ya, bisa aja sih cuma perasaan lo doang."
Naip setuju soal itu. "Lo bener. Mm, oh ya, jangan lupa ya, ntar malem kita mesti lapor ama RT setempat. Lo yang lebih tahu prosedurnya kayak apa."
"Ah, itu gampang," kata Andree. "Gak pake prosedur aneh apalagi ribet. Kan kayak bertamu biasa gitu, loh."
"Iya, sih." Naip menyerahkan masalah seperti ini pada Andree.
Tidak disangka, siang itu Andree nambah seporsi rawon lagi. Dan di antara mereka bertujuh, Andree memang paling doyan makan, tapi badannya tidak gendut. Sedangkan Naip yang badannya paling tinggi dan besar malah tidak terlalu doyan makan. Katanya, tubuh tinggi besarnya itu karena faktor G, alias faktor genetik.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR KUNTILANAK
HorrorRea tahu, ada yang tidak beres di rumah kontrakan baru ini. Bukan yang tampak di mata, namun yang ada di sekeliling dia dan teman-temannya. Satu per satu teman sekontrakan mendapatkan teror menyeramkan dari hantu wanita. Hingga mereka menemukan sebu...