"Ini ruangan apa, ya?" Rea bertanya-tanya dengan seluruh perasaan herannya.
"Kita akan tahu, kalau udah dibuka," kata Naip.
Tian yang memutar knob pintu lebih dulu. Aih! Pintunya malah tidak bisa terbuka. Dikunci. "Duh! Ini ruangan isinya apa, sih? Tadi dihalangin ama lemari yang beratnyaaa na'uzubillah. Sekarang pake dikunci-kunci segala." Ia menggerutu.
"Ruang pesugihan kali," celetuk Natz sekenanya.
"Ih, Natz! Ngomong sembarangan!" tegur Essy karena semua temannya--termasuk dirinya, merasa ngeri kalau benar itu terjadi.
Natz malah cengengesan.
Andree pun menyarankan, "Dobrak aja. Ntar kita perbaiki lagi pintunya. Dan, kalo cucunya Mak Lehah dateng, kita jelasin."
Tampaknya Merlyn sudah kesal dengan semua ini. "Ngapain pake dijelasin? Kita kan kontrak rumah ini, seluruhnya. Kita punya hak ama rumah ini."
Andree pun pada akhirnya juga setuju dengan kekesalan Merlyn. "Bodo amat. Dobrak aja."
Naip yang badannya besar, langsung beraksi. Ia mendobrak pintu dengan bahu kanannya. Berulang kali, sampai akhirnya terbukalah pintu itu. Isinya membuat para muda-mudi itu ternganga lebar.
"Astaghfirullah," ucap Naip. Jantungnya berdesir ngeri. Bulu romanya serasa berdiri semua. Merinding.
"Ngeri gue," kata Andree.
Ada banyak sekali boneka sebesar manusia nyata duduk berjejer di dalam ruangan itu. Cantik-cantik pula. Mirip boneka fisik yang dijual secara daring untuk memuaskan nafsu lelaki.
Mereka sama-sama masuk ke dalam. Melihat boneka-boneka itu dari dekat.
"Bajunya juga bagus-bagus," kata Merlyn.
Essy menyentuh wajah salah satu boneka. "Ini boneka lilin!" pekiknya.
Teman-temannya juga ikut menyentuh.
"Jadi inget ama museum patung lilin di film House of Wax," ujar Rea yang juga merasakan sentuhan halus kulit boneka yang terbuat dari lilin itu. Lalu, ia melihat wajah salah satu boneka di sudut ruangan. Rambut hitam panjang, bergaun putih polos. Sepasang matanya menatap tajam. Wajah itu, Rea teringat pada sosok hantu di kamar Natz. Kengerian menyelimuti pikirannya. "Gue keluar duluan."
Ardan segera mengikutinya, hingga ke ruang tamu. "Kamu kenapa, Beb?"
Hendak mengatakannya, tapi Rea melihat situasi lebih dulu. Ia tidak ingin teman-temannya dengar, lalu merasa ketakutan. "Beb, aku takut." Ia tiba-tiba memeluk Ardan.
"Takut kenapa?" tanya Ardan.
"Rumah ini... kemungkinan berhantu." Agak sulit mengatakan, tetapi harus Rea katakan.
"Hah?" Ardan terkejut dengan kata-kata Rea barusan. "Tenang dulu. Jangan panik begini."
"Kita jangan ngobrol di sini," kata Rea. "Ntar kalo temen-temen denger, mereka bisa ketakutan."
Ardan setuju. "Iya. Ayo, ngobrol di halaman depan aja."
Sementara itu, yang lain masih di dalam ruang boneka.
"Rumah ini makin aneh," kata Merlyn. "Tiba-tiba pemiliknya meninggal, trus nyerahin rumahnya ama kita. Ada mobil rongsokan di dalam kolam renang. Trus ada ruang boneka yang ditutup ama lemari super berat. Ntar apa lagi, coba?"
"Mungkin, yang tinggal di rumah ini sebelumnya emang rada freak atau gimana." Tian coba memahami semua ini. "Yang bisa kasih penjelasan mungkin hanya cucunya Mak Lehah."
Lalu mereka sepakat tidak ada yang boleh mengutak-atik ruangan ini. Tian segera memperbaiki pintunya, agar bisa dikunci. Hanya, mereka tidak sampai mendorong kembali lemari super berat itu. Tidak ada yang mau. Menyerah.
Ardan mendengarkan cerita Rea soal penampakan hantu di kamar Natz. Juga kemiripan wajah hantu itu dengan salah satu boneka di ruangan tadi. "Beb, ini semua di luar nalar. Aku bukan gak percaya. Aku kenal kamu lama, dan kamu gak pernah bicara mengada-ada. Cuma gimana ya, Beb."
Rea pun menyadari, ceritanya pasti sulit dipercaya oleh siapa pun. "Sejak hari pertama pindah, sebenernya aku udah ngerasain ada yang gak beres. Waktu itu, pas aku lagi nunggu kamu dateng, ada suara pintu diketuk-ketuk. Aku pikir itu kamu. Pas aku buka, gak ada siapa pun. Gak mungkin angin juga."
Ardan dapat merasakan rasa takut Rea. Ia peluk gadis itu. "Maaf ya, aku belum tahu harus kasih saran apa. Tapi aku harap, kamu jangan sampai putus salat. Minta perlindungan sama Tuhan."
Rea mengangguk. "Iya."
Tiba-tiba...
"Eh, jangan pelukan di sini!" Andree keluar dari rumah. Membuat Ardan dan Rea saling melepaskan pelukan.
"Eleng toh, yang dikasih tahu Pak RT semalam, Re? Jaga nama baik kampung ini." Andree menegur mereka.
Rea melengos. "Gak ada yang liat ini. Baru koe wae."
"Ih, ngeyel!" goda Andree.
"Bodo ah!" Rea cuek. Ia menarik tangan Ardan, lalu masuk ke rumah.
Hari itu, Ardan membantu Rea dan sahabat-sahabatnya membersihkan rumah, hingga menjelang malam, ia pun pamit pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR KUNTILANAK
TerrorRea tahu, ada yang tidak beres di rumah kontrakan baru ini. Bukan yang tampak di mata, namun yang ada di sekeliling dia dan teman-temannya. Satu per satu teman sekontrakan mendapatkan teror menyeramkan dari hantu wanita. Hingga mereka menemukan sebu...