18

4 0 0
                                    

"Pindahin?" Essy tidak terima dengan saran Andree. "Lo aja cuma dikasih tengok ama boneka udah kabur. Apalagi mau mindahin. Ya kali, aahh!"

Saat Andree dan Ardan hendak mencari sumber suara gemludak itu, tenpa sengaja mereka melihat boneka itu bergerak, menoleh ke arah mereka. Mereka terekjut dan berteriak. Segera kembali ke ruang tamu, di mana teman-teman yang lain berada.

"Kalo gak gitu, ntar bonekanya tetep neror kita." Andree tetap dengan usulnya tadi.

Rea pun punya ide yang lebih lumayan ketimbang menyentuh boneka menyeramkan itu. "Usul gue sih, mending kita pindah tidur ke musala aja. Sambil salat di sana. Minta perlindungan ama Yang Kuasa. Gue bakal lebih tenang kalo kayak gitu."

"Trus, gue ama Merlyn ngapain dong, di sana?" tanya Essy yang beragama Kristen, mewakili Merlyn yang beragama Katolik.

"Kalian bisa berdoa menurut keyakinan kalian, kan?" Rea yakin, di mana pun berada, doa pasti di-ijabah.

Usul Rea memang terdengar lebih masuk akal, ketimbang harus memindahkan boneka itu. Natz saja ogah membayangkan harus membopong boneka tersebut.


Musala di rumah itu memang tidak terlalu luas. Dekat juga dengan tempat wudu. Bagi yang muslim, bergantian ambil wudu, lalu menunaikan salat. Naip didapuk jadi imam. Salat ini bukan salat wajib. Melainkan salat untuk minta perlindungan. Sementara yang muslim pada salat, Merlyn dan Essy yang non muslim duduk di barisan belakang. Berdoa menurut keyakinan mereka masing-masing.

Usai berdoa, Merlyn dan Essy menata tempat di pojok belakang ruangan untuk dipakai tidur. Mereka menyisakan tempat untuk Rea.

Kemudian, Essy yang duduk memunggungi pintu musala, merasakan ada hawa dingin membelai tengkuknya. Ia tahu, ini bukan dingin biasa. Ia mencolek lengan Merlyn. Sahabatnya itu bersiap hendak berbaring.

"Apaan?" tanya Merlyn.

Essy memberi isyarat dengan telunjuknya mengarah ke belakang dirinya. "Di belakang gue..."

Merlyn sadar, ini bukan isyarat biasa. Ia enggan melihat apa yang ada di belakang Essy. Ia memilih lanjut berbaring. Ia menarik Essy, agar berbaring juga. "Udah, gak usah diliat. Gue yakin, itu apaan."

Essy menuruti Merlyn sembari merasa ketakutan. "Huuu.. Iya.. Tapi kenapa mereka salatnya lama amat?"

Merlyn mengangkat kedua bahunya. "Tahu, deh."


Usai juga para Muslim itu salat.

"Kalian cewek-cewek, tidur aja," kata Ardan. "Biar kami para cowok yang berjaga."

Naip setuju.

"Kalo setannya dateng gimana, Beb?" Rea masih tampak ketakutan.

"Kita kan di tempat ibadah," kata Ardan pada Rea. "Insya Allah aman. Udah, Kamu bobo aja. Jangan pikirin apa-apa. Ya?"

Rea berusaha menurut saja. Ia berbaring di sebelah Merlyn. Naip dan Ardan duduk di ambang pintu. Sedangkan Tian dan Andree di sisi lain musala.

Sedangkan Natz, ia sungguh ketakutan. Ia duduk meringkuk di sebelah Rea. "Kenapa ya, malam ini terasa panjang? Kapan paginya?"

Rea mengerti maksud Natz. "Gue juga ngerasa begitu, Natz. Kenapa gak pagi-pagi coba?"

Jenuh, Tian memainkan HP-nya. Buka facebook, update status, tapi tidak menceritakan apa pun soal malam ini. Ia bukan tipe orang yang apa-apa suka di update ke media sosial.

Andree juga ingin melakukan hal yang sama, tapi baterai HP-nya habis. "Kalo besok gak kelar juga ini masalah hantu, mendingan kita pindah aja. Mahalan dikit juga gak papa. Daripada serumah ama hantu."

Tian mengangguk dengan mantap. "Gue setuju, pake banget. Kalo bisa mah, kontrakannya deket ama masjid atau musala. Yang banyak tetangganya. Gak sepi kayak begini."

Naip pun teringat wasiat yang sudah mereka dapat. "Tapi kita kan dititipin rumah ini sama Mak Lehah."

Andree beringsut. "Bodo amat sama dititipin rumah. Mak Lehah kan gak tahu apa yang kita rasain. Dia mah enak, udah tenang di alam baka. Gak diteror ama hantu."

"Lambemu, Ndre!" tegur Rea. "Sak penak e lek ngomong. Gimana pun juga, kita harus selesaikan masalah ini. Jangan ditinggalin gitu aja. Kalo hantunya ngikutin sampe ke kontrakan yang baru, gimana? Sama aja bo'ong, kan?"

Tian masih setuju dengan saran Andree. "Tapi Re, hantu yang ada di boneka itu kan, bukan rohnya Aish. Ya, kan? Kalo kita tinggal di deket masjid, mungkin hantunya gak berani ngikut."

"Ah, gak tau, deh." Rea jadi pusing sendiri. "Yang jelas, mending kita tuntasin dulu masalah ini. Daripada ntar hidup kita malah gak tenang."

Naip berada di kubu Rea kali ini. "Gue setuju sama Rea," ungkapnya.

Saat ini, Merlyn dan Essy sudah sukses terlelap tidur. Jadi, mereka tidak lagi nyambung dengan pembahasan pindah kontrakan.

Tiba-tiba...

"Eh, apaan tuh?" Ardan melihat sekelebat bayangan orang lewat.

Natz gemetaran. "Mu-mungkin itu bonekanya jalan."

Rea langsung menarik selimut. "Mendingan kita semua tidur aja. Biar cepet pagi. Cepet terang, trus Mas Norman-nya dateng ke sini."

Semua setuju. Naip dan Ardan menutup pintu musala. Para cowok pun berbaring di sisi lain ruangan itu. Kecuali Natz, yang memilih dekat-dekat sama Rea dan teman-teman cewek lainnya. Ia mengatakan, kedua pahanya agak kram, karena kelamaan meringkuk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TEROR KUNTILANAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang