35. hamil?

1.2K 86 4
                                    

Selepas sholat isya Haifa keluar dari kamarnya, berjalan ke arah dapur dimana bibinya sedang menata makanan di atas meja. Dia duduk disana, tanpa mengatakan apapun, hanya menatap kedepan dengan kepalanya yang terasa penuh malam ini. Dia melihat ke arah bibinya saat wanita itu mendekat dan meletakkan nasi di atas meja.

"Ibu"

"Kenapa mbak?" Wanita paruh baya yang awalnya berniat kembali mengambil sayur yang masih ada di dapur menghentikan aktivitasnya, menatap wanita yang saat ini terlihat ragu untuk bicara padanya.

"Haifa boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa? Kalau ibu bisa, pasti ibu tolong"

"Ibu duduk dulu disini" Haifa menarik kursi disampingnya, menepuk kursi itu agar bibinya mau duduk disana. Wanita setengah baya itu pun menurut, untuk duduk di samping majikannya. "Bibi besok belanja mingguan kan?" Haifa bertanya ragu-ragu, melihat bibinya yang mengangguk dia bingung harus bagaimana caranya meminta tolong kepada wanita itu. "Mmm.. Haifa boleh titip belikan test pack?.." Haifa menghentikan ucapannyya

"Mbak Haifa hamil? Alhamdullilah mbak" wanita itu bertanya dengan wajah yang terlihat senang.

"Tidak tahu" Haifa menunduk, dia bingung harus memulai dari mana. "Haifa rasa Haifa sudah telat haid, Haifa juga belum yakin Haifa hamil. Ibu jangan bilang dulu sama mas Kevin ya, Haifa tidak mau dia kecewa kalau Haifa ternya tidak benar-benar hamil"

"Ya sudah, besok ibu belikan di apotek."

Haifa mengangguk lalu tersenyum menanggapinya, dia sendiri merasa senang jika dirinya benar-benar hamil, tapi dia takut dengan respon suaminya nanti, dia takut lelaki itu tak menginginkan anak dari wanita sepertinya. Dia takut pria itu akan membedakan anaknya dengan anak pria itu yang lain.

"Mbak kenapa malah kelihatan sedih? Ibu doakan semoga hasilnya positif"

"Aamiin" Haifa tersenyum. Tak ingin membuat wanita didekatnya itu tahu kegundahannya, wanita itu kembali bangkit, mengambil lauk di dapur juga untuk mencuci wajan bekasnya memasak.

Tak seberapa lama Haifa mendengar salam dari pintu depan. Dia menoleh, tahu jika itu adalah suaminya yang baru pulang dari masjid. Dia diam saja, bagaimanapun kejadian pagi tadi berhasil membuatnya rendah diri, dia merasa jika suaminya tak benar-benar menginkannya, karena itu pula dia takut jika pria itu tak bisa menerima anak darinya.

Lelaki itu mendekat ke arahnya dengan tersenyum, haifa juga tersenyum sekilas menyambutnya. Meraih tangannya untuk dia cium, dan membiarkan pria itu mengecup puncak kepalanya. "Masih pusing?" Pria itu bertanya masih dengan mengelus puncak kepalanya.

Haifa menggelang, lalu memalingkan wajahnya pada makanan yang sebenarnya tak membuat selera makannya muncul, padahal selama ini dia bukanlah orang yang memilih-milih perihal makanan.

Dengan sigap, Kevin meraih piring, mengisi piring itu dengan nasi dan juga lauk pauknya untuk diberikan kepada sang istri. Dia juga mengisi piringnya sendiri dan duduk di samping istrinya. "Bibi ayo ikut makan sama kita"

Wanita itu mengangguk, mengelap tangannya yang basah lalu ikut bergabung dengan majikannya di meja makan. Selama di meja makan Haifa diam saja, meski sang suami sudah mencoba untuk berbicara dengannya dan hanya dia tanggapi dengan anggukan atau gelengan.

Selesai makan Haifa kembali ke kamarnya, masuk kedalam kamar mandi saat desakan untuk buang air kecil tak bisa dia tahan, dia juga merasa jika ukuran dadanya lebih besar juga lebih sensitif dari biasanya, karena sebab itu pula dirinya merasa ada yang aneh pada tubuhnya, mengingat dia pernah membaca gejala ibu pada awal kehamilannya sama dengan apa yang dia rasakan saat ini. Jika benar dia hamil, Haifa tak tahu bagaimana caranya memberitahukan pada suaminya. Akankah suaminya sebahagia seperti saat pria itu tahu jika kayra hamil anaknya dahulu, atau justru sebaliknya?

Haifa menggeleng, tak baik jika dia terus berperasangka buruk pada pria itu, bagaimanapun jika dirinya hamil pria itu adalah ayah dari anak dikandungannya, Haifa tak bisa merahasiakan hal sepenting ini kepada pria itu, pria itu berhak tahu jika benar dirinya mengandung buah hati mereka.

Saat keluar dari dalam kamar mandi dia melihat suaminya yang sudah duduk di atas ranjang, memegang beberapa berkas yang mungkin belum pria itu selesaikan karena kejadian pagi tadi. Dengan langkah pelan Haifa mendekat, hanya duduk didekat leleki itu, tanpa bertanya apa-apa, takut jika dia hanya akan mengganggu konsentrasi pria itu. Mengusir kebosanannya Haifa meraih ponselnya, mencari tahu tentang gejala awal kehamilan pada dirinya. Ada beberapa yang cocok pada dirinya, hanya saja Haifa masih ragu. Dia tak mau jika memberitahukan suaminya saat ini justru akan membuat pria itu lebih banyak berharap kepadanya.
Haifa melirik suaminya yang terlihat serius, menatap lelaki itu dengan pikirannya yang penuh dengan prasangka.

Merasa di perhatikan, Kevin menoleh, membalas menatap istrinya sebentar lalu tersenyum dan kembali memalingkan wajahnya pada tumpukan pekerjaan di didepannya yang sudah hampir selesai "kenapa?" Kevin bertanya,  merasa aneh dengan wanita yang ada disampingnya. "Masih pusing?"

"Tidak, Haifa cuma mau liatin mas aja" Haifa beralibi, tak mungkin kan dia bilang kepada suaminya jika dirinya takut ditinggalkan? Lebih tepatnya takut dikhianati pria itu. Dia kembali memfokuskan tatapannya pada layar ponsel, keluar dari artikel yang baru saja dibacanya dan meletakkan ponsel itu di atas nakas.

Kevin yang saat itu sudah selesai dengan berkas-berkasnya pun turun dari ranjang, membawa kertas-kertas itu untuk dia letakkan dia atas mejadan kembali duduk di samping istrinya, meraih tangan wanita itu untuk diajaknya bicara.
"Sayang"

"Iya mas?"

"Besok pagi mas pergi ke rumah Kayra untuk menjemput Aira disana"

Haifa diam saja tak menjawab, dia bukannya tak suka Aira datang kesini, dia hanya tak suka melihat suaminya bertemu dengan mama anak itu,

Melihat istrinya yang langsung memutus kontak mata mereka, Kevin tahu, wanita itu merasa tidak nyaman kali ini "Sebentar kok, nanti mas langsung antar dia kesekolah, setelah itu mas lanjut untuk berangkat ke kantor"

"Iya, mas pergi saja. Bagaimanapun Aira anak kalian berdua. Duskusikan saja bagaimana baiknya dengan mamanya Aira"

"Tapi, sekarang kamu juga sudah jadi ibunya kan? Apa salahnya mas meminta pendapat kamu kali ini. Kamu tidak membenci Aira juga kan hanya karena dia anak mas dan juga Kayra?"

Haifa tersenyum, ternyata suaminya itu punya pemikiran seperti itu "Haifa  tidak membenci siapapun, Haifa  hanya tidak suka melihat interaksi kalian berdua dibelakang Haifa" Haifa menarik tangannya, merasa kesal karena pria itu menganggapnya seperti itu. Aira hanyalah anak yang kurang beruntung karena terlahir dengan keadaan orang tuanya yang berpisah. Dia mana tega membuat anak itu semakin kehilangan sosok orang tua lengkap yang harusnya masih dia rasakan saat ini. "Sudahlah, Haifa tahu ujung-ujungnya kita bertengkar lagi. Haifa malas jika nantinya mas menuduh Haifa yang tidak-tidak seperti ini"

"Bukan seperti itu, mas hanya khawatir kamu belum bisa menerima Aira sebagai anak kamu juga"

"Apa selama ini usaha Haifa  mendekati Aira tidak terlihat mas? Mas pikir berdamai dengan takdir menjadi istri kamu ini mudah. Haifa juga sedari awal tidak meminta untuk kamu nikahi, sedari awal Haifa tahu bahwa hubungan yang bukan dilandasi karena ibadah akan banyak masalah. sudahlah, Haifa takut jika terus membahas ini justru akan membuat Haifa menyakiti perasaan kamu sebagai suami" Haifa berbaring memunggungi lelaki itu, nyatanya sesakit ini tahu pria itu tak bisa melihat usahanya mendekati Aira. Meski anak itu tak terlahir dari rahimnya tapi Haifa sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Entah memang pria itu yang keterlaluan atau memang dirinya yang terbawa perasaan. mungkinkah ini semua karena hormon kehamilan? Haifa mengelus perutnya, berharap semua kemungkinan itu benar-benar menjadi nyata.

Hargai saya dengan cara bantu vote ya..

See you..

Baja NagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang