Haifa terduduk disisi ranjang, memeluk lututnya seraya menangisi apa yang baru saja dia lakukan. Tangannya bergerak, mengambil bajunya yang tergeletak dilantai. Menutupi tubuh atasnya yang terbuka. Suaminya sudah pergi entah kemana. Mungkin saja pulang kerumah mantan istrinya.
Haifa berdiri, berjalan ke arah kamar mandi. Mengguyur tubuhnya yang terasa lelah hari ini. Siang itu Haifa diam saja di dalam kamar, tak keluar sedikitpun dari sana. Kepalanya pening, perutnya lapar karena belum diisi sejak pagi.
Pukul lima sore Haifa menyerah, dia keluar dari kamar menuju dapur untuk makan. Sesampainya di sana Haifa melihat barang belanjaanya siang tadi ada di atas meja makan. Haifa menghela nafasnya, bergerak untuk membereskan barang belanjaannya yang lumayan banyak. Ditengah kegiatannya mencuci beberapa buah buahan Haifa mendengar mobil suaminya datang, dia diam saja tak mencoba menyambut pria itu seperti hari-hari kemarin. Dia tau lelaki itu masih marah padanya.
Setelah selesai dengan pekerjaanya Haifa duduk dikursi meja makan, memakan 1 buah apel untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Dia malas untuk masak, lagipula lelaki itu tak akan memakan masakannya. Haifa melirik jam dinding saat mendengar azan maghrib dari masjid di ujung jalan. Tepat saat itu juga dia mendengar langkah suaminya yang berjalan turun, Haifa diam saja, bersikap seolah-olah tak melihat lelaki itu
Lelaki itupun sama, dia berjalan tergesa, tak ingin tertinggal untuk sholat berjamaah dimasjid depan. Melewati istrinya yang terduduk tanpa menoleh saat kearahnya. Egonya sebagai lelaki membuat dia enggan untuk mengalah. Meski ada secuil perasaan bersalah dihatinya.
Setelah suaminya pergi Haifa mencuci tangannya dan naik ke kamarnya, bersiap-siap untuk sholat maghrib dan mencurahkan seluruh isi hatinya. Haifa menangis, meminta maaf karena telah menolak suaminya, memohon ampunan karena telah mengacuhkan lelaki itu. Dia tak ingin seperti ini. Tapi melihat respon sang suami dia juga tak berani untuk meminta maaf terlebih dahulu. Haifa berdzikir, membaca Al-Qur'an sembari menunggu waktu isya.
Selesai sholat Haifa berjalan ke arah dapur, mencari makanan yang bisa dia makan, Haifa membuka kabinet, berharap menemukan mie instan atau hal lain disana. Haifa menghela nafasnya saat tak menemukan apapun disana. Dia malas jika harus memasak nasi dan juga sayurnya, dia tak mau makanannya hanya akan terbuang sia-sia seperti kemarin. Ingin membeli makanan diluar pun Haifa takut suaminya marah.Haifa mendengar suara pintu depan yang ditutup, dia menoleh melihat suaminya yang baru pulang dari masjid, mendekat ke arahnya seraya menenteng dua bungkus makanan ditangannya. .
Lelaki itu meletakan bungkusan plastik diatas meja makan, berjalan melewati Haifa yang masih tetap bergeming ditempatnya. Mengambil dua buah piring beserta sendoknya.
Lelaki itu duduk di meja makan, membuka bungkusan nasi goreng dan meletakaknnya di atas piring. Setelahnya lelaki itu menatap Haifa, meminta wanita itu mendekat dan menyerahkan satu bungkusan yang sudah dibuka olehnya "makan" tawarnya seraya membuka bungkusan miliknya sendiri.
Haifa mendekat ragu, perutnya yang memang sudah lapar membuatnya tak bisa menolak ajakan suaminya, Haifa duduk disamping pria itu. "Terima kasih mas" wanita itu memakan makanannya perlahan tanpa mengatakan apapun.
Selesai makan Haifa bangkit, mengambilkan air untuk suaminya yang juga sudah selesai makan. Dia meletakan gelas didepan suaminya, tangannya bergerak menarik piring kotor didepan pria itu, membawanya dan memcucinya didapur. Selesai mencuci piring awalnya Haifa berniat naik ke atas, tak ingin mengganggu sang suami yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Namun saat lelaki itu memanggilnya Haifa mengurungkan niat, mendekati sang suami yang memintanya untuk kembali duduk.
Haifa menurut, duduk di kursi samping suaminya, tak berani menatap pria itu yang saat ini memperhatikannya.
"Haifa.."
"Iya mas?" Haifa menunduk, meminimalisir agar dia tak menatap wajah suaminya, merasa malu dengan sikapnya siang tadi
"Mas minta maaf" lelaki itu mengalah, setelah difikir-fikir masalah tidak akan menjadi besar jika ada seseorang yang mengalah, melihat sang istri sepertinya tak berniat meminta maaf tak ada salahnya Kevin meminta maaf terlebih dahulu. Hal itu juga tidak akan menurunkan wibawanya sebagai kepala keluarga "Maaf karena mendiamkan kamu dua hari ini, maaf juga karena siang tadi sudah membentak kamu."
Haifa menatap suaminya, mendengarkan sang suami yang terlihat merasa bersalah. "iya mas, Haifa minta maaf juga sudah bersikap seperti siang tadi"
"Jangan diulangi lagi, mas tidak suka melihat kamu yang seperti itu"
"Iya" Haifa mengangguk, mengerti maksud sang suami. Dia sendiri tak suka sikapnya siang tadi, bertingkah layaknya perempuan murahan.
"Ya sudah, mas mau ke ruang kerja dulu, jangan tidur terlalu malam" lelaki itu bangkit, meraih ponselnya di atas meja dan berlalu dari sana.
Haifa ikut bangkit, mengambil gelas bekas minum suaminya untuk dicuci, setelahnya dia naik, pergi ke kamarnya, meraih buku di atas nakas dan duduk di sofa membacanya.
Pukul sepuluh malam suaminya masuk ke dalam kamar, melihatnya yang belum tertidur lelaki itu berjalan mendekat "belum tidur?"
"Tanggung mas, sedikit lagi" Haifa menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari buku yang dia baca
"Sudah, dilanjut besok lagi" Kevin menarik buku dari tangan istrinya, meletakan kembali bukunya diatas meja.
Haifa menurut, membiarkan lelaki itu mengambil alih bukunya. Haifa mengernyit menyadari bau rokok dari suaminya "kamu ngerokok mas?"
"Iya, sesekali. Lagi pusing aja banyak kerjaan"
"Karena Haifa ya mas?"
"Apanya?"
Haifa menggeleng, tak berniat melanjutkan pembicaraan mereka, tak mau jika mereka harus bertengkar lagi. "Mau Haifa pijitin nggak mas?"
"Boleh" kevin turun duduk di lantai, membenarkan posisi duduknya agar wanita itu nyaman memijati kepalanya.
"Mas" Haifa menggantung ucapannya, menunggu respon dari sang suami.
"Hmmm"
"Besok-besok kalau pusing atau capek bilang aja, nanti Haifa pijati. Jangan ngerokok kaya gini. Nggak baik"
"Iya"
"Haifa minta maaf, Haifa bukan bermaksud seperti itu, membuat mas serabut dengah tingkah Haifa. Haifa hanya tidak suka melihat mas yang meperlakukan Haifa seperti itu didepan orang lain"
"Mas tahu, kamu terpaksa melakukannya, kamu hanya terpancing kemarahan sesaat. jika saja mas tidak ingat kalau kamu masih belum siap, sudah mas ladeni kamu siang tadi."
"Beri Haifa waktu, kita berdua menikah tanpa saling mengenal. Biarkan Haifa mengenali mas dulu, biarkan Haifa mencoba menerima kamu. Haifa tidak mau menyesal saat nantinya sudah menyerahkan semua yang Haifa punya untuk kamu."
Kevin meraih tangan istrinya, menghentikan wanita itu memijati kepalanya, menggenggam tangan wanita itu dan diciumnya pelan. "Beri mas kesempatan, jangan tutup hati kamu supaya mas bisa masuk. Terlepas dari kita yang menikah tanpa saling mengenal, kita tetap suami istri, ada kewajiban yang harus kamu dan mas penuhi suka tidak suka"
"Jadi?" Haifa bertanya pelan
"Mas akan penuhi kebutuhan kamu, menjalankan semua kewajiban sebagai suami kamu. Dan sebaliknya kamu penuhi juga kewajiban kamu" lelaki itu bangkit, mendudukan dirinya disamping sang istri "tidak perlu sekarang, mas tunggu kamu melakukannya suka rela tanpa paksaan"
Haifa mengangguk, tak tahu harus menjawab apa kepada pria itu "Haifa ke kamar mandi dulu mas" Haifa bangkit, menghindari suaminya yang tak melepaskan tatapan darinya.
Masuk kedalam kamar mandi, Haifa mencuci wajahnya, menggosok gigi lalu mengambil air wudhu. Dia berniat langsung tidur, tak mau membahas apapun lagi dengan suaminya.
Hargai saya dengan cara bantu vote ya..
See you..
KAMU SEDANG MEMBACA
Baja Nagara
RomansaKevin Baja Nagara seorang pria yang memiliki paras khas lelaki jawa, Dengan perawakan tinggi, kulit eksotis dan senyumnya yang manis, sosok dengan ketampanan yang nyaris sempurna. Hanya karena kesalah pahaman, dia harus menikahi seorang gadis muda y...