Menginjakkan kaki setelah sekian lama di tempat ini, sontak rol memori di kepalanya otomatis terputar. Bagaimana tiga tahun, dulu, setiap harinya punya cerita yang berbeda.
Narasi tatap bangunan yang masih sama megahnya ini. Pagi yang cerah untuk memulai hari dengan upacara rutin tiap Senin.
Narasi sengaja datang di Senin pagi ini, sekedar rindu suasana upacara bendera di sekolah kebanggaannya tersebut. Dan, rindunya terobati. Menikmati jalannya upacara dari lantai dua sekolah kali ini sudah cukup baginya.
"Udah pada balik ke kelasnya tuh, kita ke TU langsung yuk?"
Narasi menoleh, kemudian menuruti pria berkacamata bulat yang sudah memimpin jalan. Sembari menelusuri lorong-lorong bangunan, Narasi lagi-lagi pergunakan waktunya untuk merekam kembali jejak dahulu.
Ia terkekeh geli ketika kemudian melewati lorong mading. Masih sama suasananya, pun karya-karya yang tertempel begitu menarik. Yang lebih menarik lagi, adalah memori tentang pertengkaran antar remaja yang diselimuti perasaan menggebu.
Ah, masa remaja, ya?
Narasi seperti menganggap dirinya sendiri sudah begitu tua. Padahal, bukan kan, ya? Dia bahkan baru lulus dari sekolah ini 7 tahun lalu.
"Pst, Nar."
Teguran dari lelaki di depannya itu lagi-lagi menyadarkannya dari imajinasi semu. Hingga lah keduanya segera menyelesaikan urusan mereka kemari, mengurus beberapa dokumen kelulusan yang belum sempat terurus akibat posisi keduanya yang memang masih di luar negeri.
"Eh, lho. Ini Narasi bukan, ya?"
Narasi menoleh, sontak melayangkan senyum seramah mungkin. "Benar, Bu."
"Walaaah, udah lama banget Ibu nggak lihat kamu."
"Lha anaknya aja lanjut di luar negeri, Bu." Sahut guru lainnya.
"Oh iya ya, duh, lupa saya. Dimana tuh— di Amerika bukan ya?"
"Melbourne, Bu. Australia," jawab Narasi.
"Oh iyaa, aduh, lupa banget maaf ya. Sama ini— juga temenmu, ya?" Tanya guru tersebut sembari menunjuk lelaki yang memang di sampingnya sejak tadi.
"Iya, Bu. Ini Mahesa, dulu juga jadi anggota OSIS. Kami temen sekampus di sana,"
"Ohhh iya! Inget saya, inget."
Obrolan tersebut bahkan ditimpali oleh beberapa guru yang kebetulan datang ke ruang tata usaha, baik Narasi dan Mahesa, rasanya senang sekali kembali menyapa guru-guru yang sudah lama tak ditemui.
Karena waktu yang mengharuskan para guru tak bisa lama berbincang karena harus mengajar, Narasi dan Mahesa pun juga turut berpamitan.
"Ya sudah, Narasi, Mahesa. Semoga kalian sukses selalu, ya. Seneng banget Ibu tuh, kalo lihat anak-anaknya jadi anak sukses kayak sekarang."
"Aamiin, terima kasih Bu." Jawab Narasi dan Mahesa serempak.
Keluar dari kantor tata usaha beserta beberapa berkas di tangan, keduanya berjalan santai.
"Makan di kantin kuy, Nar?"
"Aduh, mau juga makan di sana, kangen. Tapi gue udah sarapan anjir,"
"Alah, di sana juga banyak jajanan."
Narasi terlihat berpikir, "Oh iya. Tadi katanya, pacar lo mau nyusul kemari. Jadi nggak, tuh?"
"Oh iya, bentar gue cek— lah, anjir. Udah otw anaknya, dari 20 menit lalu malah. Keasikan ngobrol sih tadi, gue nggak sadar jadinya." Ujar Mahesa setelah mengintip ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalala Love You | NOMIN ✅
Fanfiction[END] Cuma ceritanya si Lian yang baru masuk SMA dan langsung kepincut sama kakak OSIS panitia MPLS, Narasi. . . "Ish. Anak kecil tau apa, sih?" "Tau cara mencintaimu dengan setulus hati, kak!" "Stop! Cringe abis deh." "Siap! Salah kak!" bxb , nomin...