33. Hukuman

2.4K 348 19
                                    

Esok paginya, hari upacara. Kali ini Lian tidak kebagian jadwal untuk menjadi petugas, namun itu bukan satu-satunya alasan untuk kali ini ia sampai di sekolah setelah gerbang ditutup. Membuatnya harus bergabung dengan anak-anak lain yang juga terlambat datang.

Pemeriksaan atribut dilakukan, dan guru kesiswaan tersebut semakin marah ketika mendapati Lian tak membawa atribut dengan lengkap, bahkan paling parah dibanding yang lain.

Tidak membawa topi, ikat pinggang yang bukannya dengan logo SMA 27 namun justru berlogo SMP-nya dahulu, hingga kaos kaki yang walau benar berwarna putih, namun karena pendek juga termasuk dalam poin pelanggaran.

"Nggak niat sekolah di sini ya, kamu? Sabuk masih sabuk SMP, balik SMP aja apa kamu, hah?!"

"Maaf pak," tunduk Lian.

"Lagian bukannya saya pernah lihat kamu itu, anggota OSIS?"

"Iya tuh, Pak! Malah sekaligus anggota Passus dia," sahut seorang di samping Lian, yang Lian ketahui sosoknya merupakan temannya, namun ia lupa dari kelas mana.

"Malahan?! Bener-bener, saya bakal minta pembina OSIS sama Passus buat kasih hukuman berat ke kamu. Dasar. Sama sekali nggak mencerminkan perilaku anggota OSIS, apalagi anggota Passus."

Lian hanya dapat menunduk, hingga kemudian rombongan itu digiring menuju lapangan upacara dan ditempatkan di barisan tengah yang paling dekat dengan pembina upacara.

Tentu saja, mereka tak absen dari ceramah sang kepala sekolah ketika amanat upacara. Namun dibanding mendengarkan ceramah yang hampir tiap minggunya ada itu, Lian memilih menelusuri barisan upacara dari tempatnya, mengarah ke barisan kelas milik Narasi karena kakak kelasnya tersebut sudah tidak bertugas di upacara lagi.

Mudah saja, karena Narasi berada di barisan paling depan sehingga mata keduanya kini saling bertubrukan. Lian masih menangkap raut tidak suka dari Narasi, selain dari ulahnya kali ini, pasti sisa-sisa kekesalan akibat perdebatan keduanya kemarin masih ada.

Maka dari itu, Lian layangkan kedipan genit pada Narasi. Mencoba merayu tensi di antara mereka agar mencair, yang hanya dibalas si manis dengan putaran bola mata malas. Hingga Narasi tak mau menatap ke arahnya lagi sampai upacara selesai.

Upacara selesai, namun barisan Lian diminta untuk tetap menetap. Yang lain sudah membubarkan diri, walau tadi Hansel dan Ariq sempat mendekat pada Lian.

"Lu ngapa pake sabuk SMP anjirrr, goblok banget heran." komentar Hansel.

"Kok bisa telat anjir padahal semalem juga lu balik cepet?"

"Sengaja gua mah. Mau caper," ujar Lian.

"Lah, caper apaan anjir?"

"Ada lah, tuh ayang gua lagi mode senggol bacok mau gua jinakin dulu."

"Najis."

Ariq terkekeh, "Yodah dah Li. Balik dulu kita, met berpanas-panasan ria,"

Begitu diangguki Lian, di waktu bersamaan, guru kesiswaan yang tadi merazia juga ikut mendekat ke barisannya. Beliau sempat melakukan panggilan telepon hingga kemudian memanggil seseorang.

"Kak, Kak! Iya, kamu! Sini bentar,"

Yang dipanggil lalu datang dari arah belakang Lian, dan akhirnya Lian menyadari bahwa sosok itu adalah Narasi, juga Sakti yang menyusul.

"Anak Passus kamu, Kak?"

"Benar, Pak."

"Ya sudah kebetulan, ini tolong diurus anak-anak ini soalnya Bapak mau ada rapat di luar. Tolong ya?"

Lalala Love You | NOMIN ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang