Yoshi bangun dengan pening yang memberatkan kepala. Pandangannya yang masih kabur coba ia fokuskan kembali, berusaha mengenali di mana ia berada kini. Kerutan karena pening di keningnya beralih jadi heran mendapati bahwa ia tidak berada di kamarnya, tetapi ruangan itu jelas masih di rumahnya. Otak kecilnya berusaha keras mengingat.
"Ah! Sial!"
Mendapat gambaran mengenai apa yang mungkin saja terjadi semalam sampai membuatnya berakhir di kamar Jihoon membuatnya menggigit bibir cemas. Apalagi melihat seberantakan apa ranjang Jihoon kini membuat rasa bersalah memenuhi diri.
Pukul 11 siang Yoshi baru bangun dan keluar dari kamar Jihoon sudah dengan penampilan yang lebih manusiawi. Segera dicarinya keberadaan Jihoon saat ini. Begitu pergi ke dapur didapatinya Jihoon yang tengah mengobrol dengan salah satu pelayan di rumahnya.
"Bisa tolong masukkan makanan ini ke kotak bekal? Ada kan kotak bekal di rumah ini?"
"Ada, baik, biar saya siapkan."
Samar-samar obrolan tersebut terdengar olehnya. Yoshi berdiam di ambang pintu menunggu pelayan yang masih mengobrol dengan Jihoon pergi agar ia bisa lebih leluasa biacara dengan Jihoon.
"Bawakan yang agak besar ya."
"Iya, kalau begitu saya permisi sebentar untuk menyiapkan makanannya."
"Oke, terima kasih. Taruh saja nanti di meja makan, aku akan membawanya."
Setelah pelayan tadi pergi barulah Yoshi masuk ke dapur menghampiri Jihoon.
"Jihoon."
Panggilan itu hanya membuat Jihoon menoleh sekilas, kemudian dia kembali sibuk membersihkan meja dapur. Tidak benar-benar mengabaikan Yoshi, namun juga tidak berniat untuk merespon lebih.
"Jihoon, soal semalam, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu."
"Iya."
Hanya itu respon yang Jihoon berikan. Hal itu tentunya membuat Yoshi semakin diserang rasa bersalah. Entah apa arti dari kata 'iya' yang Jihoon katakan barusan, namun yang jelas tidak mungkin bagi Jihoon untuk memaafkannya.
"Jihoon." Tangannya meraih lengan Jihoon. Memaksanya untuk berbalik padanya. "Aku mohon, jangan cuman diem aja gini, aku tahu aku salah atas segalanya, tolong jangan hanya mendiamkan aku seperti ini."
Yoshi menunduk menatap kedua tangan Jihoon yang kini masih digenggamnya. Jihoon jelas menyadari adanya rasa bersalah yang tulus terpancar dari pandangan mata Yoshi, juga pada setiap kalimat yang pria itu ucapkan.
"Kamu mau dengar apa dariku." Suaranya datar mengudara. Disambut respon cepat oleh Yoshi yang langsung mengangkat wajahnya. Menatap kedua mata Jihoon yang bagai tak ada sedikit pun binar kehidupan di sana.
"Kamu mau dengar seberapa hancur dan sakitnya hatiku? Ketika kamu tanpa permisi menciunku, menyetubuhi aku, dan berulang kali menyebut nama Asahi sebelum namaku, apa kamu juga mau tahu, seberapa banyak air mata yang kukuras hanya untuk menangisi perasaanku sendiri yang hingga detik ini masih menginginkan kamu, bahkan setelah semua rasa sakit yang kamu barikan."
Jihoon berucap dengan suara pelan. Tidak membentak, tidak berteriak, juga tidak ada penekanan apa pun dalam kalimatnya. Namun entah bagaimana semua itu justru membuat Yoshi semakin merasakan sakit di hatinya.
"Sudahlah, lupakan saja, toh kamu juga menikmatinya kan. Anggap saja aku juga menikmatinya, walaupun nyatanya aku merasa seperti baru saja dilecehkan."
Sebuah helaan nafas kasar terdengar nyaring. Yoshi masih diam atas seluruh kalimat Jihoon barusan. Lebih menyakitkan mendengar Jihoon melemparkan kekesalannya dengan suara datar daripada ketika Jihoon beteriak untuk melampiaskan segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope In Tears [ yoshihoon/kyuhoon ]
RandomB O Y S L O V E [ COMPLETED ] Terjebak. Jihoon ditarik masuk ke dalam sebuah pernikahan yang seharusnya bukan miliknya. Kembali bersatu dengan sang mantan kekasih dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Hidupnya bagai dipermainkan semesta. Jihoon harus...