I [ bagaimana tahun berlalu ]

3.4K 241 17
                                    

Tahun itu adalah hari pertama musim dingin. Seharian ini senyumnya tak ada luntur dari paras manisnya. Ini adalah hari spesial, karena itulah taman bunga kini tumbuh memenuhi hatinya. Bersamaan dengan hembusan udara dingin yang menerpa kulit halusnya dia mempercepat langkah menuju hunian kecilnya yang sudah ditinggali sejak tiga tahun ini tinggal di Ibu kota. Suara pin sandi pintu yang ditekan terdengar nyaring.

Bayangannya penuh kebahagiaan. Memikirkan bahwa kekasihnya akan berada di dalam sana menunggunya. Lalu menghabiskan semalam berdua merayakan hari jadi ke-3 tahunnya bersama sang kekasih. Membayangkan hangat pelukan kekasihnya berhasil menciptakan desiran kebahagiaan di hati rapuhnya.

"Yoshi."

Ruangan kecil dengan pemanas ruangan yang masih mati itu sepi. Jihoon tak ambil pusing. Jika kekasihnya tidak ada sekarang, maka mungkin dia baru akan tiba nanti. Walaupun janjinya seharusnya dia sudah ada di sini ketika ia selesai dengan pekerjaan paruh waktunya.

Pergi ke dapur. Jihoon kemudian mengeluarkan sekotak kue dari kantong belanjanya. Kue itu kemudian dimasukkan ke dalam kulkas agar tetap terjaga. Jihoon duduk di sana lama menunggu kedatangan sang kekasih. Ketika jarum jam sudah menunjuk pada angka 7 malam Jihoon akhirnya berusaha menghubungi Yoshi. Panggilan itu tidak tersambung. Ponselnya mati.

Kini firasatnya memburuk.

Jihoon segera bangkit. Berniat pergi mencari Yoshi ke rumah pria itu namun ketika ia melewati sofa yang diletakkan di tengah-tengah rumah kecilnya ia melihat sebuah kertas yang dilipat kecil diletakkan di atas sofa. Sebuah surat dari sang kekasih ketika ia membuka kertas itu.

Setiap kata di dalam surat itu terus ia baca berulang kali untuk memastikan bahwa ia tak salah dalam mengartikan bahwa Yoshi sudah pergi. Pulang ke kampung halamannya bersama keluarganya. Kakinya lemas ketika sebuah kalimat perpisahan terbaca oleh bibirnya. Tubuhnya meluruh ke lantai dingin. Air matanya jatuh ketika mendapati kenyataan menyakitkan di hari yang ia kira akan penuh dengan kebahagiaan.

"Akh—! Yoshi..."

Malam itu untuk pertama kalinya Jihoon menangis semalaman dengan kekasihnya sebagai alasan. Sekian banyak hal menyenangkan yang ia lewati bersama sang kekasih, dan hari ini hatinya dibuat hancur berkeping-keping hanya dengan sepucuk surat yang ditinggalkan sebagai perantara perpisahan.

"Aku gak bisa Yoshi... aku gak bisa... kalau gak ada kamu... aku gak bisa..."

Jihoon terus menangis seraya memanggil nama sang kekasih. Berharap bahwa esok pagi ketika ia membuka mata kekasihnya sudah berada di sana bersamanya. Menyapanya dengan manis seperti biasa. Dan berharap bahwa seluruh rasa sakitnya kini hanyalah mimpi belaka.

"Akh! Sa—sakit, akhhh... Yoshi..."

Bibirnya digigit kuat untuk menahan suara ringisan kesakitan karena luka di hatinya yang baru saja tertoreh, juga nyeri di perutnya yang terasa menyakitkan. Tangannya meremat kuat perutnya sendiri untuk menghilangkan rasa sakitnya.

Ia tak pernah tahu. Tak pernah pula terbayangkan dalam benaknya sebelumnya bahwa ia akan berpisah dengan Yoshi dan merasakan sakitnya patah hati yang begitu dalam. Merasakan sebuah kebahagiaan yang dalam sekejap berubah jadi mimpi buruk.

Lagipula siapa yang mendamba sebuah perpisahan ketika dunia memberi setumpuk kebahagiaan yang bisa dinikmati bersama seorang yang selalu dianggap sebagai hadiah terbaik dari semesta. Orang yang tak pernah terbayangkan akan melukainya, kini justru jadi yang paling menyakitkan untuk diingat.

   

✄-----------------------------------------------

  

Hope In Tears [ yoshihoon/kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang