IX [ tidak akan pernah sama lagi ]

675 115 16
                                    

Kembali tinggal di atap yang sama dengan Yoshi ternyata tidak membuat perasaannya jadi lebih baik. Awalnya Jihoon sempat berpikir bahwa mungkin saja hatinya akan kembali merasakan kehangatan yang sama dengan yang pernah ia rasakan 5 tahun lalu ketika setiap kali Yoshi datang mengunjunginya ke rumahnya. Mengenang masa lalunya selalu berhasil menjadi belati tajam yang menusuk hatinya. Dan tinggal dengan Yoshi hanya membuka banyak luka lamanya yang belum sepenuhnya kering.

Rumah besar Yoshi sudah memiliki segalanya. Jihoon tak perlu lagi menjadi seseorang yang harus berdiam diri di rumah dan mengerjakan segala pekerjaan rumah.

Jihoon berdiam diri di dalam dapur. Ruangan luas lengkap dengan berbagai alat dan bahan keperluan lainnya untuk memasak itu sunyi dengan dirinya yang terpaku menatap satu set pisau di atas meja dapur. Niatnya tadi Jihoon ingin makan sesuatu namun ia kesulitan membuka bungkusnya. Kini ia perlu bantuan alat bermata tajam untuk membukanya.

Tangannya dengan ragu meraih salah satu pisau di atas meja. Jihoon sudah mencari namun tidak juga ia temukan gunting di dapur luas tersebut.

"Aw!"

Klaangg

Jihoon menjatuhkan pisau yang tadi ia pegang karena ternyata ia masih tak cukup berani. Beruntungnya pisau tersebut tidak jatuh mengenai kakinya. Jihoon menghela nafas gusar. Sejak ia berusaha mengakhiri hidupnya sendiri 5 tahun lalu di rumah sakit, ia jadi takut setiap kali memegang pisau dan benda tajam lainnya. Takut ia akan menusukkan mata tajamnya padanya untuk menghentikan deru nafasnya. Alasannya juga kenapa ia tidak lagi pernah memasak.

"Yoshi!"

Yoshi datang dengan cepat. Khawatir telah terjadi sesuatu pada Jihoon sampai membuatnya berteriak keras seperti itu.

"Ada apa?!"

Jihoon menunjuk pada pisau yang kini tergeletak di bawah kakinya. Mengisyaratkan pada Yoshi untuk mengambil pisau itu dan menyimpannya.

"Apa?" Yoshi masih tak mengerti. Jihoon hanya menunjuk pada pisau yang ia sendiri juga bingung kenapa pisau tersebut bisa berada di lantai.

"Singkirkan itu, aku harus pergi." Jihoon beranjak meraih tas yang sebelumnya ditinggalkannya di atas meja. Keinginannya untuk memakan camilan sebelum pergi bekerja lenyap.

"Tunggu dulu," Yoshi menahan lengan Jihoon. "Kenapa gak kamu gak aja singkirkan, dan juga, kamu mau kemana?"

"Aku mau ke tempat kerja."

"Kamu akan tetap bekerja?"

"Menurutmu?! Apa aku juga harus berhenti bekerja dan hidup sebagai istrimu sepenuhnya? Jangan berharap lebih Yoshi, kamu bahkan tidak benar-benar berada dalam pernikahan ini."

Jihoon menatap lurus kedua mata Yoshi. Ketika ia akan melanjutkan langkah Yoshi kembali menahannya. Membuatnya harus berhenti dan akhirnya berbalik sepenuhnya pada Yoshi.

"Apa lagi?!"

"Jihoon, aku benar-benar minta maaf. Atas segalanya, atas semuanya yang membuatmu begitu membenciku seperti ini. Aku hanya ingin untuk tidak saling membenci seperti ini."

Yoshi berucap dengan tenang tanpa memperdulikan Jihoon yang sudah menahan kesal karena ulah Yoshi yang terus menahannya dan mengatakan banyak hal yang hanya membuat Jihoon jadi semakin kesal. Jihoon menyentak lengannya dengan kasar agar terlepas dari cekalan Yoshi.

"Apa kamu tahu apa yang membuatku begitu membencimu kini?!" Dadanya naik turun dengan nafas memburu karena diselimuti amarah.

"Kamu marah karena aku pergi begitu saja waktu itu kan, aku benar-benar minta maaf."

Hope In Tears [ yoshihoon/kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang