VIII [ pernah mati sekali ]

745 121 29
                                    

"KAMU APA!?!?"

Junkyu memekik keras begitu Jihoon selesai dengan seluruh ceritanya yang sempat membuat Junkyu mengernyit bingung dalam mencerna setiap kalimatnya. Seluruh pandangan para pengunjung cafe tempatnya bicara dengan Junkyu kini terpusat pada mereka yang telah membuat keributan. Jihoon menunduk malu, sedangkan Junkyu tidak peduli.

Junkyu kembali duduk dengan tak acuh. Mengabaikan seluruh mata yang kini terpusat padanya Junkyu duduk dan mencondongkan tubuhnya ke arah Jihoon. Berusaha bicara dengan pelan agar tidak lagi menjadi pusat perhatian karena tahu bahwa itu membuat Jihoon malu.

"Kamu bohong kan?! Iya kan?! Please bilang kalau ini tuh cuman pikiran aku aja yang kemana-mana karena overthinking! Kamu gak mungkin setuju buat terusin pernikahan yang gak pernah kamu minta ini, iya kan?!"

Jihoon diam tak menjawab. Karena mau bagaimanapun juga ini adalah keputusannya dan bercerita pada Junkyu juga merupakan salah satu keputusannya agar setidaknya ada seseorang selain kedua orang tuanya yang sudah kembali pulang yang dapat mengerti bagaimana perasaannya kini.

Junkyu termenung melihat keterdiaman Jihoon. Ia tahu hati Jihoon masih berada bersama Yoshi, namun mengetahui bahwa Jihoon secara tidak langsung telah setuju untuk menerima Yoshi kembali dalam hidupnya berhasil meruntuhkan hatinya.

"Jihoon..."

Junkyu meraih kedua tangan Jihoon yang berada di atas meja. Sebelumnya Jihoon tidak pernah keberatan jika tiba-tiba tangannya digandeng atau pun dirangkul dengan mesra olehnya karena bagi Jihoon itu semua adalah hal biasa di antara teman. Namun kini Jihoon justru menarik tangannya menjauh dan meletakkannya di bawah meja agar Junkyu tak lagi dapat meraihnya.

Hatinya mencelos mendapat perlakuan demikian dari sahabatnya yang selama ini juga telah diam-diam ia sukai. Jihoon sengaja memberi jarak karena kini dia adalah istri Yoshi, yang mana artinya dia tidak lagi bisa berlaku sesukanya terhadap Junkyu yang suka menempel padanya.

"Maaf." Lirih Jihoon merasa tak enak.

Junkyu tersenyum miris. Selama ini ia tahu bahwa Jihoon memang tidak lagi tertarik untuk menjalin kasih, namun begitu mendapat penolakan yang begitu jelas membuat hatinya ikut meringis.

"Jadi, kamu akan tinggal dengan Yoshi, dan hidup sebagai istrinya, sampai Asahi kembali? Bagaimana jika Asahi tidak pernah kembali?"

Pertanyaan itu tidak membuat Jihoon goyah akan keputusannya.

"Aku akan mengajukan perceraian, mungkin." Jihoon mengangkat bahu tak acuh. "Kita sama-sama tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan dalam hubungan ini."

Tidak ada yang tahu memang. Namun membayangkan jika sampai Jihoon benar-benar memutuskan untuk kembali bersama dengan Yoshi terus membuatnya gelisah. Hal itu bukan tidak mungkin untuk terjadi jika melihat bagaiman perjuangan Yoshi untuk mendapat maaf dari Jihoon.

"Kuharap dia menjagamu dengan baik."

Jihoon mengangguk samar. Dia tak ingin berharap, namun karena ini adalah Yoshi, dan karena hatinya masih sepenuhnya bersamanya membuatnya tanpa sadar telah menumbuhkan setitik harapan di dalam hatinya.

"Kuharap dia cukup sadar diri untuk tidak berlaku lebih. Aku tidak ingin melihatmu seperti dulu lagi."

Sama-sama diam dengan isi kepala yang berbeda. Jihoon bergerak gelisah dalam duduknya. Tidak biasanya Junkyu lama terdiam seperti ini, dan hal ini membuatnya merasa aneh.

Akhirnya Jihoon bangkit lebih dulu. Mengajak Junkyu untuk ikut beranjak pergi dari cafe tersebut. Mereka keluar dari cafe bersamaan. Junkyu ikut berhenti kala Jihoon menghentikan langkah karena terkejut melihat sosok Yoshi yang kini berdiri di samping mobilnya di tepi jalan.

Hope In Tears [ yoshihoon/kyuhoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang