Terik matahari mulai mereda ketika sang surya bergerak turun ke barat. Awan putih berubah jingga. Cerah langit biru mulai mereda jadi lebih pucat. Dunia terus berputar, namun Junkyu, waktunya bagai dihentikan, tak ada apa pun yang bisa menginterupsi kesibukannya saat ini. Sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri membuat Junkyu tak sadar sejak tadi telah dipanggil dari kejauhan sampai orang yang tadi memanggilnya akhirnya harus mendekat dan menepuk keras bahu Junkyu.
"KAK!"
Junkyu terlonjak. Telinganya berdengung setelah diteriaki tepat di samping gendang telinganya. Menoleh. Junkyu menatap kesal pada gadis muda yang kini berdiri di depannya, berkacak pinggang dengan wajah merengut kesal.
"Apa?! Jangan teriak-teriak begitu, sakit telingaku lama-lama setiap hari kamu teriakin gitu."
Yang dimarahi justru nyengir tanpa rasa bersalah.
"Mau pamit Kak, dari tadi dipanggilin gak nyahut. Saya mau pulang dulu ya, selamat sore Kak Junkyu." Pamitnya dengan suara yang dibuat semanis mungkin, kemudian beranjak pergi bahkan sebelum Junkyu mengiyakan.
"Oh iya Kak! Seminggu ini saya ujian loh ya, jangan dipecat! Minggu lalu saya udah izin sama Kakak, awas aja kalau tiba-tiba bawa karyawan baru buat gantiin saya." Peringatnya lagi kepada Junkyu yang juga merupakan atasan di tempatnya kerja. Ia bekerja sambilan di apotik milik Junkyu.
Junkyu hanya menggeleng maklum. Mau diapakan lagi ia juga tak tahu, dapat karyawan yang bisa dipercaya memegang kunci apotiknya tidak semudah yang dibayangkan. Satu orang saja, Junkyu tidak akan melepas karyawannya yang satu ini.
"Aku akan pecat kamu kalau nilaimu turun!" Candanya yang hanya dapat sahutan sebuah tawa nyaring dari yang diajak bicara. Padahal gadis itu sudah hampir di seberang jalan tetapi suara tawanya terdengar dengan jelas seperti diteriakkan di depan wajahnya.
Lengkung senyum dibibirnya segera kembali pudar begitu kini ia kembali diselimuti sunyi. Sudah sebulan lebih sejak terakhir kali ia bertemu dengan Jihoon yang pergi begitu saja tanpa pamit padanya. Sulit baginya untuk berbohong mengenai hatinya yang kini begitu merindukan kehadiran pria manis yang sudah dengan seenaknya membawa pergi hatinya itu.
Selama sebulan itu pula Jihoon tidak pernah menghubunginya atau bahkan sekedar mengirimkan pesan menanyakan kabar. Junkyu juga tak menghubungi Jihoon. Bukan karena Jihoon tak bisa dihubungi atau semacamnya, namun ada sesuatu yang menarik hatinya agar tidak menghubungi Jihoon untuk sementara.
Tetapi kini sebulan sudah berlalu. Ia lelah harus merasakan rindu dan berakhir terjaga semalaman hanya untuk memikirkan bagaimana kondisi Jihoon sekarang. Ia juga lelah mengira-ngira tanpa adanya ujung yang jelas.
Masa bodo dengan perasaannya, Junkyu harus menebus rindu di hatinya.
Apotiknya segera ia tutup. Setelah pintunya tergembok dengan rapat Junkyu segera menuju mobilnya agar tidak ada lagi waktu terbuang percuma. Namun sebelum sempat ia masuk ke dalam mobil, tangannya tiba-tiba ditarik dengan kasar.
"Bangsat! Apa lagi!?"
Umpatan itu otomatis terlontar karena ia jelas hafal betul siapa yang sebulanan ini terus mendatanginya untuk menanyakan pertanyaan yang sama dan menuntut jawaban yang ia sendiri juga tak yakin pasti bagaimana harus memberikan jawaban.
"Aku tahu kamu pasti tahu di mana Jihoon, bisa tolong beritahu aku? Kumohon."
Yoshi berdiri di sana. Memohon akan sebuah jawaban yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun tentu makian yang didapatnya kini tidak seberapa kasar jika dibandingkan dengan ketika ia pertama datang dan bertanya pada Junkyu, saat itu Junkyu tanpa menimbang lagi langsung memberinya sebuah pukulan keras di pelipisnya dan beberapa hari kemudian di sisi wajahnya yang kena sampai membuatnya mimisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope In Tears [ yoshihoon/kyuhoon ]
RandomB O Y S L O V E [ COMPLETED ] Terjebak. Jihoon ditarik masuk ke dalam sebuah pernikahan yang seharusnya bukan miliknya. Kembali bersatu dengan sang mantan kekasih dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Hidupnya bagai dipermainkan semesta. Jihoon harus...