BAB 6

48 13 0
                                    

2018 Masehi

"Alina?"

Suara lembut itu mengembalikan Alina ke hiruk pikuk kafe mungil yang terletak bersebelahan dengan bangunan museum tempatnya bekerja. Alina menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba meraih sedikit fokus dari pikirannya yang kini terasa begitu lelah, padahal baru jam 8:15 pagi.

Alina mengembuskan napasnya kuat-kuat, dan ditatapnya wajah di hadapannya.

Sebentuk wajah bulat manis, dengan poni yang panjang disisir rapi ke belakang telinganya dan dijepit rapi.

"Hallo?! Hallo? Earth to Alina! Earth to Alina! Respond! Bangun, Nona!" Tinka, sahabatnya itu, memanggil sambil meletakkan tangannya di depan mulutnya, seakan sedang memegang walkie-talkie.

Alina tergagap sejenak, merasakan otaknya berdengung dengan aktivitas, pelan, tapi pasti. Ia tersenyum kecut. "Iya, Tin, aku sudah bangun kok ... ini ..." ia mengetuk-ngetuk mugkosong yang tadinya sempat berisi cairan hitam pekat pahit double shotespresso-nya.

Ia menghela napas lagi, berpikir-pikir sambil meremas ujung jempolnya, dan mengangguk pelan sambil membuka mulutnya lagi,

"Aku bangun kepagian, Tin. Mimpi."

"Mimpi itu lagi?"

Alina mengangguk. Mimpi yang sama semenjak tahun lalu; pemuda yang seakan terpenjara dikelilingi dinding asap biru, kebakaran besar yang mengurungnya, dan suara-suara yang begitu brutal mengerikan. Sampai sekarang ia tetap tidak pernah berhasil mengingat apa isi kalimat pemuda itu, walau kini setiap malam ia tidur dengan buku notes dan pena di bantal di sampingnya, berjaga-jaga kalau ia terbangun saat mimpi itu sehingga ia bisa tanpa buang-buang waktu langsung mencoba mengingat isi kalimat pemuda itu. Selalu gagal.

"Sejak tahun lalu, hampir tiap bulan aku bermimpi itu. Sungguh aneh, Tin. Aku kenapa ya, Tin?" nada kuatir di suaranya tak bisa ia sembunyikan.

Tinka menggigit-gigit bibirnya yang berpulaskan lipbalmmerah muda mengkilap. "Sejak kamu ... Regan ... "

"Apa hubungannya dengan Regan?" potong Alina cepat. Matanya yang lelah membesar sekarang, lurus menatap Tinka. Tangannya meraih mugkopi kosong di hadapannya dan mulai mengetuk-ngetuk permukaan mugitu dengan cepat.

"Sejak Regan, maksudku, itu kejadian traumatis kan, Alin. Mungkin kamu jadi mimpi buruk gara-gara itu," ucap Tinka perlahan, hati-hati, karena Regan adalah topik sensitif.

Alina menatap sahabatnya itu lama, lalu menggeleng. "Masa iya, Tin?" ucapnya, sebelum melanjutkan,"Tapi siapa pemuda di mimpiku itu?"

Tinka termenung sejenak sambil mencubit-cubit ujung dagunya. "Ganteng ya?"

Alina menatap sang sahabat dan tak kuasa menahan senyum kecil. "Apa hubungannya? Yang jelas dia bukan Regan. Jauh lebih tinggi, tegap, dengan topeng di sebelah kiri wajahnya. Ada karisma yang susah aku jelaskan."

"Aku tidak tahu, Alin. Mungkin kau trauma dengan Regan, jadi pemuda di mimpimu itu mungkin hanyalah semacam ... personifikasi harapan rahasiamu akan pemuda yang sesungguhnya kau inginkan, pemuda yang baik untukmu. Sigmund Freud bukan yang berkata: Dreams are the royal road to the unconscious.Mungkin 'kan?" suara Tinka semakin lembut di akhir kalimatnya.

"Sejak kapan kamu baca Sigmund Freud?" Alina menggoda sahabatnya itu sebelum akhirnya hanya tercenung menatap sebercak kecil noda kopi yang mengering di atas meja, lalu mengangguk-angguk kecil sambil meremas jemarinya tatkala Regan kembali ke benaknya dan menolak untuk pergi.

"Episode hidupku dengan Regan sudah selesai, Tin. Regan menginginkan sesuatu dariku yang tidak mungkin aku berikan sebelum kita menikah. Ini masalah prinsipku. Dan ia ... ia memutuskan mencari gadis lain yang bersedia memberikannya padanya. Kau dan aku tahu juga, Sierra X bukanlah wanita pertama yang ia pacari di belakangku. Aku dan Regan sudah selesai. Itu saja. Selesai, Tin," serak terbata suara Alina.

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang