BAB 17

35 8 1
                                    

Pisau itu hitam mulus, mengkilap. Indah dan halus, pikir Alina ketika matanya terpaku pada pisau kecil yang menancap di perutnya.

Rasa sakit itu menjalar pelan, hangat, sebelum menjadi panas, menggigit lembut sebelum mencabik-cabik dan Alina jatuh berlutut dengan erangan kesakitan yang mulai terdengar dari bibirnya ...

Semua yang ia lihat menjadi hitam-putih, abu-abu, seperti ada selembar selimut tipis yang menutupi penglihatannya.

Tikaman di perutnya berhasil membetot konsentrasi terakhir Varthan dan xandkarademelayang ke tangan Roxana.

Varthan terlempar, jatuh ke lantai, dan pemuda itu bergegas merangkak mendekat kepadanya.

"Tahan, Alina! Tahan! Kau tidak boleh mati! Tidak boleh seperti ini! Jangan mati!"Ia bisa melihat aliran darah di bibir Varthan, keringat bercucuran, dan bibir pemuda itu bergerak memanggilnya.

Tapi ia tidak bisa menjawab.

Kesakitan dari tikaman pisau Roxana di perutnya mengikis segenap nalarnya, ia bisa melihat Roxana mengangkat kedua tangannya, dan segenap ruangan itu berputar pelan.

Ia bisa mendengar, suara Roxana:"Xandkarade adalah milikku sekarang! Dunia bawah, dunia para iblis akan menjunjungku, dan dunia manusia akan bertekuk lutut padaku! Pasukan iblis akan menuruti kehendakku dengan xandkaradedi tanganku! Aku akan bersiap, akan datang hari kematian yang mengenaskan bagi manusia-manusia pembangkangku! Manusia-manusia yang sudah begitu banyak mengecewakanku, melanggar janji padaku! Morand, Tashem, Nankara! Semua! Dulu aku hanya ingin jadi permaisuri, aku hanya ingin tahta Valezar, tapi sekarang, aku akan menjadi penguasa dunia manusia! Semua akan tunduk pada Roxana, tidak ada lagi mahluk-mahluk keparat yang berani melanggar janji padaku!" Roxana terdengar begitu marah, begitu kalap, dengan xandkaradeyang ia acungkan di tangannya.

Lalu iblis itu menatap Varthan dan Alina, dan berkata-kata dengan suara halus lembut mengalun, bagaikan kidung pengantar tidur yang menggidikkan kuduk. "Niram tarase ogar! Ve daras dilkar vamirona gastar ogarra, naar hel elathar morta savran lidarté va. Ve saldera ogar rei vaira te innayara. Im ka' daorragh."

Alina menggelengkan kepalanya kuat-kuat tatkala otaknya yang beku berusaha menerjemahkan apa yang dikatakan Roxana dan ia bergidik. (Aku benci kalian! Tapi aku mempunyai hukuman yang lebih pantas bagi kalian, karena mati begitu saja sungguh terlalu mudah. Kalian akan kuhukum dengan hukuman yang sangat cocok untuk kalian. Di dalam daorragh.).

Daorragh? Apa itu? Di mana daorragh? Dan mengapa Roxana menekankan pada kata-kata hukuman yang sangat cocok? Hukuman apa? Hanya itu yang berhasil ia proses, sementara napasnya semakin berat, tersengal, dan rasa sakit dan dingin beku memenuhi segenap rongga tubuhnya. Sakit yang amat sangat membuat segenap nalar pikirannya mati rasa.

Semua dilihatnya sekarang bagaikan sebuah film dalam gerak lambat. Varthan yang bangkit menerjang Roxana dengan marah, namun Roxana dengan cepat menghilang bersama xandkarade, kikikan tawanya bergaung keras di ruangan itu.

Varthan berbalik, jatuh berlutut lagi di sampingnya, menggenggam tangannya erat dan berkata-kata. Ia tidak bisa lagi mendengar apa yang pemuda itu katakan, napasnya terasa sesak, tangannya mengejang, menggenggam lengan pemuda itu seerat mungkin dalam usahanya menahan sakit, dan dilihatnya Varthan melepas pakaiannya sendiri, perlahan mencabut pisau dari perut Alina, dan menggunakan pakaiannya itu untuk menekan luka berdarah itu. Kerut-kerut penuh kekuatiran tampak di wajah sang pemanah matahari itu. Ia tahu pemuda itu memanggil-manggilnya. Namun Alina tidak bisa menjawab, bibirnya kaku, matanya untuk sesaat terpaku pada rajah-rajah hitam pekat di dada bidang Varthan, rajah-rajah yang memenuhi dadanya, lengannya, dan bagian bawah lehernya, berbagai karakter bahasa kuno Valezar, tapi ia tidak mampu lagi memproses apa maknanya.

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang