BAB 13

39 9 7
                                    

"Va éan savegli te alandara incabria."

Alina mengucap kalimat itu dengan halus, hampir tak terdengar.

"Kau bilang apa?!" teriak Danika.

Alina tidak memedulikan wanita kalap itu.

"Va éan savegli te alandara incabria. Bangunlah, Yang Mulia Varthan," ucapnya sedikit lebih keras dengan fokus yang sulit ia jelaskan, seakan di ruangan itu hanya ada dirinya dan sang pemanah matahari, dan ia mulai berbisik dalam hatinya: Yang Mulia Varthan,kau bukan orang jahat. Aku yakin itu. Firasatku mengenaimu baik sejak di mimpi itu juga. Kau seorang raja yang menjalankan tugasmu, menjaga senjata yang begitu keramat dengan tubuhmu. Kau menjaga supaya xandkarade-mu tidak dimanfaatkan iblis. Kau menjaga dengan hidupmu. Bangkitlah sekarang. Aku mohon. Nyawamu dan nyawaku di ujung tanduk. Aku tidak mau mati, Yang Mulia. Aku takut ...

"Alina!" bentak Danika berapi-api, lalu wanita kalap itu merangsek maju, berteriak, "Lakukan tugasmu! Bangkitkan Varthan! Sudah tiba saatnya! Gadis tolol! Kuhajar kau!"

Gerakan Danika terlihat seperti gerak lambat sebuah film aksi dan Alina merasakan ketenangan aneh yang melingkupinya, yang membuatnya tidak merasa harus bergerak menghindari Danika yang merangsek maju siap menyerangnya. Di kepalanya justru mimpinya yang berlarian, dan berhenti, seakan apa yang realitas dan apa yang mimpi bertemu di satu titik singular: Telapak tangannya yang semakin mendekat ke telapak tangan Varthan, dan kini tidak ada dinding asap biru yang muncul menghalangi.

Telapak tangannya menyentuh telapak tangan Varthan, dan kehangatan seorang manusia membanjirinya. Telapak tangan sang raja tiba-tiba bergerak, meraih jemarinya, menggenggamnya, dan menariknya menjauh dari Danika yang siap menerjang ...

Alina terpekik dan tubuhnya terhuyung ke belakang karena tangannya ditarik Raja Varthan, dan sang raja kini bangkit terduduk di atas altar batunya.

"Yang Mulia!" Danika gelagapan menghentikan rangsekannya dan jatuh berlutut dengan kedua tangan ia tumpukan ke lantai.

Raja Varthan terhenyak, bingung menatap sekelilingnya, menggelengkan kepalanya berkali-kali.

"Di mana ini? Di mana? Nankara ... apakah iblis-iblis sudah mendobrak ruang tahta? Paman Tashem, ia menikamku ... adirak... apa yang terjadi padaku?" tanyanya dengan suara terengah karena kagetnya.

Alina bengong, membeku tidak dapat bergerak banyak karena tangannya masih digenggam sang raja, dan ia menyadari ia bisa mengerti kata-kata Varthan karena raja Valezar itu menggunakan bahasa Valezar biasa yang serumpun dengan bahasanya, bukan bahasa Valezar kuno yang istimewa kesulitannya dan digunakan untuk sastra dan dokumen resmi kerajaan.

"Yang Mulia, kau sudah dibuat tidak sadar, mengambang antara dunia hidup dan mati oleh adirak, untuk melindungi xandkaradeyang tersimpan dalam tubuhmu. Perang dengan Nankara sudah lama lewat ... " Danika gemetar bersuara.

"Di mana ini? Dan berapa lama aku tidak sadar?" lirih pertanyaan yang datang.

Danika menghela napas, dan menjawab pelan, "Kau sekarang berada di kediaman keluarga Morga, di Villa Morga. Kau sudah tidak sadar selama ... lima ratus tahun, Yang Mulia."

Tubuh Varthan bergetar sesaat, lalu tampaknya raja itu menyadari satu tangannya masih menggenggam Alina, dan ia menoleh, terkesiap menatap gadis itu dan tangannya terlepas dari Alina.

"Kau ..." ucapnya dengan mata membelalak, jelas terkejut.

"Ia gadis yang sudah membangkitkanmu, Yang Mulia. Entah bagaimana caranya! Aku Danika Morga, keturunan Tashem Elgard. Cerita yang sangat panjang, tapi keluargaku turun temurun sudah menjaga tubuhmu ke manapun kami pergi."

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang