BAB 9

41 11 0
                                    

Malam itu di kamarnya, Alina sibuk membereskan semua keperluannya. Danika masih mengirimkan dokumen ini itu sehingga iapun sibuk memeriksa, membaca, mengisi fornulir, mencatat, memastikan ia memenuhi semua permintaan Danika. Ia berbicara sebentar di telpon dengan Papa dan Mama, dan juga Tinka. Mereka senang akan kesempatannya untuk bertugas di sebuah proyek eskavasi besar, dan walau hatinya merasa resah, kuatir ia akan gagal, tapi suara-suara orang-orang terdekatnya itu cukup mampu memberinya kekuatan. Kekuatan yang sedikit goyah ketika Danika mengirimnya pesan singkat – panik karena ia salah mengirim formulir membuat kartu pass arkeolognya dan ia harus mengisi ulang ...

Pukul setengah dua malam akhirnya ia selesai membereskan segala keperluan pribadinya, baju dan segala tetekbengeknya yang ia masukkan rapi ke dalam tas besar kanvas hitamnya. Ia hanya berharap ada setidaknya tempat untuk mencuci bajunya di reruntuhan itu, karena ia tidak yakin untuk berapa lama ia akan pergi. Napasnya menjadi lebih ringan ketika dilihatnya surel dan whatsapp-nya tidak menunjukkan pesan-pesan baru dari Danika.

Ia mencoba tidur, tapi gagal. Matanya hanya nanar menatap langit-langit kamarnya.

Sambil menarik selimutnya, ia membalikkan tubuhnya ke samping, ke arah buku notes dan pena yang tergeletak di bantal di sampingnya.

"Apakah aku akan bermimpi mengenaimu malam ini? Kau tahu aku akan pergi besok untuk urusan kerja? Aku seorang arkeolog dan penerjemah ... bahasa kuno Valezar. Kamu tahu Valezar?" bisiknya seakan ada seseorang yang berbaring di sampingnya, bukan buku notes dan pena. "Kamu siapa? Beritahu aku ... apa kamu butuh bantuan? Butuh menyampaikan pesan? Aku sungguh tidak ingat apa isi kalimatmu di mimpi. Maafkan aku ... " bisiknya lagi.

Alina merasa sedikit bodoh sekarang berbincang dengan bantalnya, tapi ia sungguh tidak mengantuk. Jantungnya berdebar-debar dan ia tahu ia akan sangat lelah besok kalau ia tidak tidur. Dengan pemikiran itu, ia memaksakan matanya untuk terpejam.

Ia tidak yakin apakah ia benar-benar tertidur, ia masih bisa mendengar suara burung hantu di luar, debar jantungnya, dan suara napasnya naik turun.

Ketika jam wekernya berdenting-denting pukul lima pagi, ia melompat bangun, mandi, sarapan, dan memeriksa kelengkapan semua tetekbengeknya.

Lima menit sebelum pukul enam, ia sudah siap di depan bangunan apartemennya dengan tas kanvas hitamnya teronggok manis di hadapannya dan ransel di punggungnya, montok penuh dengan isinya.

Danika datang tepat waktu. Jam enam pagi.

Wanita itu menyetir mobil SUV hitamnya dan Alina melihat jok belakang mobil itu sudah penuh berbagai kotak karton. Alina memasukkan tas kanvasnya, bersyukur ia punya tas yang bisa disempil-sempilkan karena itu yang harus ia lakukan untuk memastikan tasnya muat.

Setengah melompat, ia masuk ke jok penumpang di samping Danika.

"Siap?!" Danika menoleh dengan anggukan antusias. Wanita itu tampak santai dengan jeans hitam yang sudah kusam dan kaos longgar berwarna merah cerah. Kacamata hitam bertengger di matanya dan bibirnya berpulaskan lipstik nudemengkilap.

"Siap!" balas Alina.

Danika tersenyum, dan Alina menyadari itu senyum yang cukup riang untuk seorang Danika.

<<<>>>

Mobil itu melaju di jalanan yang masih sepi, memasuki jalan tol lintas negara yang membawa mereka menuju daerah-daerah pedesaan di luar Amsterdam.

Terpaan cahaya matahari pagi yang lembut keemasan menyeruak dari balik awan-awan putih seperti kapas, cahayanya bagaikan selimut yang memeluk hamparan tanah-tanah pertanian yang hijau subur; kentang, kol, dan selada, dan ia juga melihat perkebunan apel dan pir. Sesekali mereka juga melewati tanah-tanah padang rumput peternakan yang luas, dengan sapi-sapi perah berbulu hitam putih tenang menyantap rumput segar sarapan pagi mereka, atau juga domba-domba berbulu tebal yang terlihat seperti titik-titik putih kusam gendut yang bertebaran acak di padang rumput.

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang