BAB 7

52 11 0
                                    

Alina masuk ke lobi museum itu, dan wajah dan tubuhnya disambut buaian angin pendingin yang menyegarkan. Gadis itu melangkah cepat di lantai marmer mengkilap, sepatu ketsnya berdecit-decit lumayan ribut di lantai yang kesat bersih karena baru dipel.

"Selamat pagi, Nona Alina!" seruan riang terdengar, dan Alina menoleh dan melambaikan tangannya pada seorang pria paruh baya berpakaian seragam biru tua yang tampak duduk di konter informasi museum tepat di seberang pintu masuk.

"Selamat pagi, Pak Wouter! Jangan lupa makan siang tepat waktu!" balasnya sambil tersenyum kecil. Pak Wouter, petugas keamanan di museum itu terbahak. "Iya, Nona! Aku akan selalu ingat jasamu menyelamatkanku dari sakit maagku yang kambuh karena telat makan!" balas pria tua berperawakan kurus tinggi itu dengan sisa tawanya.

Alina mengangguk-angguk, mengingat insiden bulan lalu saat ia mendapati Pak Wouter pucat pasi sakit maag, dan ia memberikan obat tablet yang selalu ia simpan di tasnya pada bapak itu, tablet kunyah obat maag yang selalu ada di tasnya karena riwayat maagnya sendiri.

Gadis itupun melanjutkan langkahnya menuju ke pintu kecil di ujung ruangan besar berpendingin yang diisi dengan sofa-sofa merah untuk para pengunjung, dan juga bannerberjuntaian berisi informasi berbagai pameran yang ada di museum bulan itu. Pintu kecil itu tersembunyi di sebelah lift berwarna metalik di ujung ruangan. Ia mendorong pintu dengan kedua telapak tangannya, dan melangkah menuruni anak tangga, dua lantai ke bawah, ke ruang kerjanya.

Ruang kerjanya itu hanya sebuah ruangan bercat abu-abu tanpa jendela di lantai dasar museum itu, berukuran kira-kira 10x10 meter persegi, dengan perabot seadanya, dua meja kayu besar, dua kursi plastik berwarna merah pudar, dan sebuah rak besi besar bertutup kaca di ujung kanan ruangan, tempat artefak-artefak yang baru dibersihkan disimpan. Ruangan itu selalu berbau tanah dan debu. Bau artefak-artefak yang digali keluar setelah ratusan tahun terkubur. Bau masa lalu yang tidak semua orang bisa mendapat kesempatan mencium, begitu Alina selalu menghibur dirinya kalau bau-bauan debu itu membuatnya sesak.

Meja kerjanya besar, penuh dengan kuas, lap, serpihan-serpihan kerikil, dan juga tentu saja, pekerjaan terpentingnya hari itu, prasasti yang harus diterjemahkan. Sebuah komputer desktop tua teronggok di ujung meja itu, berdengung pelan ketika dinyalakan.

Ia menghempaskan pantatnya di kursinya. Setelah komputer desktopnya siap bekerja, dengan hati-hati ia membuka laman untuk surelnya, ada rasa resah ketika dilihatnya ada 15 surel yang baru tiba dan belum dibacanya. Dengan jantung berdebar, ia larikan pandangannya dengan cepat ke semua surel itu dan bernapas lega ketika ia tidak menemukan surel dari Regan lagi. Ragu-ragu, ia membuka folder kotak sampah surelnya dan dilihatnya surel Regan masih di sana. Ia menghela napas panjang, menatap surel itu beberapa saat, tergoda sejenak untuk membuka dan membacanya lagi, tapi akhirnya ia batalkan niat itu. Ia duduk tepekur, menggelengkan kepalanya berkali-kali, sebelum akhirnya mulai menyibukkan diri dengan membaca surel-surel yang baru ia terima pagi itu, membuat beberapa catatan di buku organizer-nya, dan menutup buku itu setelah selesai mencatat.

Kini ia mengarahkan fokus pandangannya ke sebuah artefak di atas meja, dan melarikan jemarinya ke artefak Gargan yang baru ditemukan dua minggu lalu itu agar siap dipajang di koleksi museum itu.

Setelah mengenakan jas lab biru tuanya, sarung tangan, dan kacamata pelindung mata, Alina mulai sibuk membersihkan sebongkah batu dengan ukiran tulisan Gargan itu. Dengan sebuah kuas kecil, dengan amat hati-hati dibersihkannya bongkahan segiempat berukuran 50cm x 15cm x 50cm itu. Sebuah prasasti kecil, dan dari apa yang bisa ia baca dari bahasa Gargan itu, sebuah prasasti memperingati kelahiran putra mahkota kerajaan Gargan, 700 tahun lalu.

Alina mendengus, mencoba membersihkan rongga hidungnya dari serbuan debu-debu. Diambilnya kuas yang sedikit lebih besar, dan mulai memulaskan kuas itu di permukaan prasasti batu itu untuk membersihkan debu-debu tanah di permukaan prasasti. Dilarikannya jemarinya ke permukaan prasasti itu. Ia menghela napas, dan dilarikannya jemarinya kini ke setiap karakter Gargan yang dipahat di atas batu itu.

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang