BAB 4

68 14 6
                                    

2017 Masehi

Hujan turun deras di sore hari itu. Rintik air, jutaan titik-titik bening berjatuhan dari langit yang mendung kelabu, menghunjam tanah, mencipratkan lumpur, menyegarkan dedaunan, menyapu segala debu jalanan.

Alina menghela napas dalam-dalam, mengembuskannya kuat-kuat, menggigit bibirnya, menganggukkan kepalanya. Mengulangi rentetan aksi itu berkali-kali. Tangan kanannya gemetar, mengambang beberapa senti di atas sebuah mouselaptop. Ia harus tega. Ia tahu, ia harus.

Tapi mengapa? Mengapa air matanya masih begitu bandel, masih jatuh berderaian, menolak berhenti? Pipinya kini basah kuyup oleh air matanya. Hangat dan asin saat airmatanya itu menyusup ke sela-sela bibirnya. Tanpa menghapus jejak-jejak basah airmatanya yang mengalir zigzag dari sudut matanya ke bibirnya, dan kini menetes dari dagunya ke lehernya, Alina menatap folder biru muda di layar laptopnya.

Wedding Invitation – Design – final.png

Napasnya berkejaran menahan desakan tangis, bibirnya mengeluarkan erangan serak, dan jemarinya menekan mouse, menggerakkan kursor berbentuk panah warna hitam itu dari folder ke ujung kiri atas laptopnya.

File.

Klik.

Sederet opsi muncul.

Alina mengangguk pelan, meneguhkan hatinya yang goyah, dan kursor bergerak turun.

Move to Trash.

Klik.

Selesai.

Tangisnya pecah dalam sesenggukan yang berkejaran, dalam kedua telapak tangan gemetar yang ia tangkupkan di wajah, dalam hati yang remuk redam. Siapapun yang bilang menangis akan membuatnya lega adalah pembohong! Satu sesi menangisnya akan membawanya ke memori yang telah lewat, dan beban hati yang semakin berat, dan semua bertumpuk sampai sesi menangis selanjutnya.

Ia tangkupkan tangannya semakin kuat di depan bibirnya, mati-matian mencoba memastikan suara sesenggukannya tidak keluar terlalu keras. Papa sudah pulang kantor, dan Mamanya ada di ruang kamarnya di sebelah. Mereka tidak perlu mendengar lagi tangisannya. Hari ini.

Alina menghela napas. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tangisnya akhirnya bisa ia redam.

Untuk beberapa saat, ia hanya duduk tepekur di hadapan laptopnya. Matanya menyapu satu filedi desktopnya, fileyang akhirnya berhasil membawa senyum kecil di wajahnya.

KursusBhsValezar-Anak2RumahKasih.docx

Jam dinding di ruang tamu berdentang dua kali.

Setengah jam lagi.

"Alin?" tiba-tiba suara pintu terbuka bersamaan dengan suara lembut mamanya terdengar.

Alina kalangkabut menoleh sambil menghapus sisa titik airmata di ujung dagunya. Mamanya menjorokkan kepalanya ke arahnya. Kacamata sang mama tampak bertengger di ujung hidungnya. Pelan-pelan, Mama masuk dan Alina melihat apa yang sedang dibawa di tangan wanita itu. Satu pot kecil bunga anggrek yang sudah layu.

"Ini, Alin. Mama barusan ngobrol dengan tetangga kita, Bu Tatya. Anggrek kesayangannya entah kenapa sudah dicoba berbagai cara, masih layu terus. Mama bilang kamu pandai merawat tanaman, jadi dia minta bantuanmu ... ini ..."

Alina tercenung melihat pot pink di tangan Mama, dan tak kuasa menahan senyum kecil."Mama, sudah dong dengan promosinya. Aku suka tanaman, merawatnya tidak susah, tapi lihat itu jejeran di tepian jendelaku," ucap Alina sampil mengedikkan dagunya ke jejeran enam-tujuh pot anggrek yang mekar indah di samping jendela besar kamarnya. "Satu anggrek Tante Kyra, dua anggrek dari tetangga nomor 12, satu dari Om Bastian, dua punya Oma Elka. Punyaku cuma satu yang di ujung."

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang