BAB 18

31 9 4
                                    

Detik menit berlalu menjadi jam.

Alina terkulai menahan perih lukanya, dan pikirannya kusut, ia tidak bisa berpikir, tidak juga ingin berbicara. Bibirnya kering, lidahnya terasa lengket ke langit-langit mulutnya, dan bernapas adalah pekerjaan sangat berat baginya. Satu tarikan napasnya akan membawa satu tikaman perih di lukanya dan ia akan mengerang pelan, dan mengembuskan napasnya lagi.

Tapi yang membuat hatinya sungguh goyah adalah tatapan penuh kekuatiran dari Varthan yang duduk di sampingnya. Pemuda itu sering menoleh, memeriksa keadaannya, lalu tepekur diam lagi dengan kening berkerut dan wajah muram.

"Alina?" pemuda itu memanggil pelan ketika setelah beberapa saat Alina tidak bersuara.

Gadis itu menggerakkan kepalanya, dan menoleh, mencoba membuka matanya untuk menatap Varthan.

"Kamu haus? Lapar?" tanya Varthan sambil menelisik mata gadis di hadapannya, dan Alina menggerakkan bibirnya, merasakan kulit bibirnya yang kasar bergesekan. "Haus," ucapnya parau.

Varthan berdiri dan menuju ujung ruangan, tempat sebuah kendi dan dua gelas tanah liat diletakkan Dir.

Lalu Varthan membantu meletakkan gelas itu di bibir Alina, dan gadis itu mencoba meminum, tapi air yang sangat dingin berbau lumut itu membuatnya terbatuk keras, dan gagal minum dan wajah pemuda itu hadapannya terkena semburan air.

"Maaf ... maaf ..." ucapnya walau ia terlalu lemas untuk menunjukkan kepanikan sudah menyemburkan air ke wajah sang pemanah matahari.

"Coba lagi ..." ucap Varthan setelah mengelap wajahnya yang basah dengan punggung tangannya, tapi Alina menggeleng. Air berbau lumut itu sungguh sangat menjijikkan indera pengecapnya.

Varthan tercenung sejenak, lalu berdiri, menggedor-gedor pintu jeruji, dan meminta Dir datang.

Dir datang dengan mulut penuh sumpah serapah. Varthan tidak peduli. Ia meminta cairan untuk luka Alina.

"Gadis itu terkena racun ganas! Kau mau aku bagaimana?! Tidak banyak yang bisa aku lakukan!" bentak Dir, terdengar seperti seuntai elegi kematian buat Alina. Alina menggigit bibirnya menahan sakit dan menganggukkan kepalanya. Ia setuju pada apa yang dikatakan Dir.

Hanya Varthan yang tidak setuju.

Varthan menolak untuk menyerah dan menatap Dir dengan tatapan tajam, pertanda ia siap membuat lebih banyak keributan demi sebotol cairan itu. Dir menggeram dan melempar botol cairan itu akhirnya.

"Aku tidak ingin mati, Varthan, tapi aku tahu, racun ini ganas, aku pasti akan mati. Mungkin baiknya begitu, aku tidak mau di sini, di daorragh," suara Alina serak ketika ia membiarkan Varthan membersihkan lukanya dan mengoleskan cairan kecoklatan dari Dir itu.

Varthan membisu, ia mengoleskan cairan itu dengan amat hati-hati.

"Varthan? Kau dengar aku?"

"Alina, aku tidak mau memikirkan itu!"

"Jangan bodoh, Varthan. Aku akan mati, terserah apakah kau mau memikirkan atau tidak!"

Varthan membisu. Ia membalut luka Alina lagi. "Aku tidak mau kau mati," lirih ucapan Varthan akhirnya.

"Kau adalah sang pemanah matahari, raja Valezar. Tapi kau tidak memiliki kuasa atas hidup dan mati, Varthan."

"Aku hanyalah raja gagal, Alina! Sang pemanah matahari, tanpa xandkarade-nya!" suara Varthan keras, tanpa bisa menyembunyikan nada ejekan pada dirinya sendiri.

Alina terhenyak.

"Pasti ada cara, pasti ada untuk mencari penawar racun ini. Besok aku akan berbicara dengan Dir! Mungkin ia bisa memikirkan petunjuk!"

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang