BAB 11

43 10 4
                                    

Elgard? Mengapa bukan Morga juga?Alina bertanya-tanya dalam benaknya.

Alina memejamkan matanya, entah mengapa mimpi anehnya kembali ke benaknya, begitu segar di ingatan, dan ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir fragmen impian itu dari benaknya. Tapi fragmen-fragmen mimpinya itu berkejaran dan menolak berhenti, dan ketika ia membuka matanya, matanya bersirobok dengan mata abu-abu bening Tashem Elgard, napasnya semakin memburu, ia hampir pasti merasa kalau ia melihat bibir Tashem seakan bergerak, dan ia tersentak ketika suara Danika terdengar.

"Itu Tashem Elgard. Kakek moyangku. Bangsat sok pahlawan yang membuatku seperti ini!" suara Danika dingin, dan Alina gelagapan berbalik.

"Danika! Kenapa kamu memanggil kakek moyangmu bangsat?!" firasat Alina semakin tidak enak dengan Danika. Tak bisa ia pungkiri, kilatan di mata Danika membuat tengkuknya dingin bagaikan disiram air es. Kebingungannya begitu pekat saat ini. Danika yang ini jelas berbeda dengan Danika yang mencengkeram setir mobilnya dalam gemetar takut dan meminta pertolongannya saat mereka di perjalanan ke mari.

"Makanan sudah siap, Alina. Ayo. Kau tamu kehormatanku. Kita makan," suara Danika datar, dan Alina terhenyak melihat makanan yang sudah siap di atas meja. Ia sudah benar-benar terpukau, terserap, oleh lukisan Tashem Elgard, sehingga ia tidak menyadari kalau Danika sudah menata makanan di atas meja. Wanita itu sungguh tidak membuat banyak suara saat bergerak – membuat Alina teringat pada kesenyapan seekor ular berbisa yang sudah lama mengintai mangsanya sebelum melancarkan serangan mematikan.

Tapi ia tidak lapar. Ia tidak tertarik pada makanan di atas meja sekarang.

"Tidak, Danika. Aku tidak lapar. Semua ini begitu aneh. Perayaan apa ini? Apa maksudmu aku tamu kehormatan? Mengapa kau tampaknya begitu benci kakek moyangmu? Danika, aku mohon, jelaskan padaku."

Danika menatapnya tajam, lurus, tak berkedip, dan melangkah perlahan mendekat ke arahnya.

Sekujur tubuh Alina gemetar sekarang, dan gadis itu mundur sehingga tubuhnya menabrak lukisan Tashem di belakangnya.

"Duduk, Alina. Aku jelaskan semua. Malam ini, tugasku selesai."

"Tugas apa? Perayaan apa ini? Danika? Kau membuatku takut!"

"Duduk."

"Tidak!"

"Duduk, Alina."

"Aku tidak mau."

"Duduk. Kita bicara. Sekarang."

Alina melihat tatapan Danika yang tajam, dan ia tahu, satu-satunya pilihan adalah duduk. Dengan langkah sedikit terseok, ia meraih kursi terdekat, dan Danika langsung menukas,"Bukan di situ! Mana sopan santunmu? Aku sudah siapkan makanan. Masa kau tidak makan?"

Danika menunjuk kursi di ujung seberang sana, tepat di hadapan makanan-makanan yang sudah ia siapkan.

Alina mengangguk, dan berjalan dengan punggung yang ia rapatkan ke dinding, sambil matanya tak lepas dari Danika – berjaga-jaga kalau wanita itu tiba-tiba menyerangnya. Tapi Danika tidak berkedip, menatap setiap gerak-geriknya tanpa putus.

Ketika mereka akhirnya duduk, Alina di ujung meja, Danika di kursi di kirinya, Alina mengangguk. "Aku sudah duduk. Sekarang, Danika, berceritalah."

Danika mengambil sepotong roti, mengoleskan mentega di atasnya, dan memberikan pada Alina yang ragu-ragu menerima, Danika mengambil roti lain, mengoles mentega, dan menggigit roti itu.

"Aku makan duluan, kau lihat? Tidak kuracuni. Menteganya kutaruh dalam boks pendingin di mobil, tapi sudah agak cair ketika kubuka. Rasanya tidak seenak mentega segar, tapi lumayan. Kuberi sedikit bawang putih dan garam laut, kupanggang sedikit di wajan tanpa minyak. Garam laut dari Laut Mediterania. Enak dan spesial," Danika terkekeh dan lebih terdengar seperti koki pembawa acara masak-memasak.

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang