BAB 20

30 9 4
                                    

Dir memukul-mukul dadanya sendiri, membenci dirinya yang sangat pengecut!

"Dir!" sebuah suara berat menyentak Dir. Dir memejamkan matanya, tahu siapa itu yang memanggilnya. Bagaimana dia bisa seenaknya jalan-jalan di luar menara penjaranya? Dir merutuk jengkel.

Dir berbalik. "Kenapa kau di sini? Kau mendapat perlakuan istimewa, bukan berarti kau bisa seenaknya setiap saat berjalan-jalan di sini!" sergah Dir.

Yang di hadapannya adalah seorang pria paruh baya tinggi besar, kekar, dengan pakaian biru, rambut pirang, dan mata biru dingin. Pria itu berdiri sedikit sempoyongan, pengaruh sekendi besar tuak keras yang ia peluk erat di dadanya.

"Aku, Mor! Dewa perang! Putra Kaal, sang raja istana langit! Aku bisa lakukan apapun yang aku mau, hai cacing bangsat!" bentak pria itu.

Dir terkekeh dan menelengkan kepalanya pada Mor. "Kudengar kau dikirim Kaal ke sini, karena kau sudah keterlaluan bermain-main dengan hidup manusia! Kudengar, cintamu ditolak seorang putri cantik di dunia manusia, lalu kau membunuhnya! Ayahandamu Kaal marah besar ... dan ... kau di sini, bersama aku, Dir ... "

Mor menggeram, suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar parau dan rendah, bagaikan seekor singa kesakitan yang siap menyerang. Kendi besar di pelukannya bergetar, dan sang dewa perang tampak merah padam sekarang.

Dir menegakkan punggung kurusnya. Ia siap menghadapi satu tawanan daorraghkurang ajar satu ini.

<<<>>>

Alina merasa begitu lelah, kelopak matanya berat dan ia memejamkan matanya. Namun ia tidak bisa jatuh tertidur. Pikirannya berlarian cepat, segala hal yang telah terjadi padanya bagaikan mimpi buruk yang begitu panjang dan ia tidak akan pernah bangun lagi.

Varthan berbalik dari jendela dan duduk diam di sampingnya, tanpa kata. Keningnya berkerut-kerut, menandakan pikirannya yang kusut saat ini.

Mungkin benar-benar hukuman yang terkejam adalah membiarkan manusia mati perlahan karena kebosanan dan kehilangan harapan, pikir Alina.

"Varthan! Ayo kita main! Bosan kalau begini," akhirnya ucap Alina perlahan.

Varthan menoleh, menatapnya bingung. "Main? Main apa, Alina?"

"Permainan kata! Aku suka bermain ini dulu, pas masih kecil, dengan orangtuaku," sahut Alina sambil berusaha tersenyum.

Varthan tercengang sejenak. "Ah ... aku ..."

"Kalau kau ada permainan yang menarik yang dulu kau mainkan, juga boleh!" ucap Alina. Permainan anak-anak Valezar! Pasti menarik!

Varthan tergagap. "Aku tidak ... aku tidak diizinkan untuk bermain-main dulu," ucap pemuda itu.

"Oh?"

"Sejak kecil, aku mulai belajar berbagai hal, politik, kebudayaan, sastra, filsafat, berlatih bela diri, menggunakan senjata, pertarungan tangan kosong, strategi perang, sepanjang hari aku harus berlatih dan belajar, karena aku pewaris tahta," jelas Varthan lirih.

Alina terdiam. Anak kecil yang dilarang bermain sungguh terdengar sangat kejam bagi gadis itu.

"Maaf ... aku sungguh tidak tahu permainan anak, kalaupun tahu, aku sungguh tidak ingat lagi bagaimana cara mainnya," Varthan menatapnya dengan sesal.

"Masa kecilmu lumayan membosankan ya?" Alina berucap pelan.

Varthan menghela napas dan mengangguk samar.

"Jadi waktu kau kecil, apa yang kau lakukan dengan ayah dan ibumu untuk bermain bersama?" tanya Alina ingin tahu.

Varthan menghela napas. "Aku jarang bertemu orangtuaku. Ayahanda selalu sibuk, dan ibundaku lebih sering mengurung diri. Sejak usiaku 4 tahun, aku hidup dengan bibi pengasuh, guru-guru, dan pelatih beladiri di istanaku sendiri. Mereka mengasuhku, sebaik-baik asuhan orang-orang bayaran yang dibayar untuk mengasuhku, dan kalau aku merengek terus, Paman Tashem akan membuatkan janji waktu bagiku untuk menemui ayah dan ibu di istana mereka."

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang