BAB 25

36 7 2
                                    

Sebuah lorong panjang yang begitu gelap, begitu bau menyengat, dengan akar-akar hitam entah dari pohon apa yang menyelimuti seluruh lorong itu, akar-akar hitam yang bergerak-gerak, berdesis-desis seperti sedang saling berbisik-bisik satu sama lain – lorong menuju dunia bawah, dunia para iblis mendekam. Varthan hanya mendapat penerangan dari pedang putih dalam genggamannya. Kegelapan lorong itu perlahan membuatnya merasakan ketakutan yang aneh, bayangan-bayangan hitam putih mulai berlarian di benaknya. Segala hal yang ia coba lupakan, tapi semua bermunculan di benaknya kini.

Kematian ayah bundanya di hadapan matanya. Cipratan darah mereka yang menyiramnya. Tangisannya memohon-mohon para pembantai itu untuk menghentikan aksi mereka. Tangisan yang dijawab kekehan-kekehan penuh ejekan, sama sekali tidak diindahkan.

Lolongan penuh kesakitannya saat api membakar wajahnya.

Hukuman-hukuman mati yang ia lakukan dengan tangannya. Cipratan darah yang menyiram wajahnya, lagi dan lagi. Ketakutannya akan darah yang lama-lama menghilang ketika ia akhirnya menjadi mati rasa akan kematian.

Pertarungan habis-habisannya mempertahankan vaerrim, mempertahankan Valezar dari Nankara.

Alina yang tak bersalah tapi terluka parah gara-gara terseret urusannya. Semua adalah salahnya. Salahnya!

Kegelapan yang semakin menyelimuti pikirannya membuat napas Varthan sesak, dan genggamannya di pedang putih hampir lepas saat langkahnya terseok ... .

<<<>>>

Alina berteriak kaget ketika ia merasakan tubuhnya seakan terbetot oleh sesuatu, sesuatu yang menariknya sehingga jatuh berlutut di lantai daorragh, tubuhnya gemetar dan ia menggunakan kedua lengannya yang ia tumpukan di atas lantai untuk memastikan ia tidak jatuh terguling ke lantai. Keringatnya bercucuran walau ia merasakan dingin, dan ketika ia memejamkan matanya, ia bisa melihat semua yang terjadi di dunia bawah, seakan dirinya sedang berjalan di samping Varthan. Ia melihat Varthan terseok, dan pemuda itu menggelengkan kepalanya berkali-kali seakan sedang mencoba mengusir sesuatu dari dalam pikirannya.

"Varthan! Ada apa? Langkahmu terseok. Kamu kesakitan?" bisiknya melihat pemuda itu goyah. Dir ikut berlutut di samping Alina, berkata halus,"Kau bisa melihat dan mendengar semua yang terjadi pada Varthan karena hubunganmu ke pedang putih itu. Dampingi dia, Alina. Ia membutuhkanmu. Kegelapan dunia bawah mulai merasuki pikirannya!"

Alina mengangguk cepat, memejamkan matanya semakin erat, segala yang ia lihat di dunia bawah sangat menciutkan nyalinya tapi ia tidak mau sampai kehilangan jejak akan apa yang terjadi pada Varthan. "Varthan! Aku di sini! Aku tidak akan meninggalkanmu! Tetaplah melangkah, dan berbicaralah denganku ketika kegelapan pikiranmu membuatmu susah melangkah. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisiknya lagi. "Tidak akan!"

<<<>>>

Varthan gelagapan sejenak mendengar suara Alina yang seolah berbisik di dalam kepalanya. "Alina? Alina kau bisa mendengarku? Melihatku?" bisiknya, memejamkan matanya, menggelengkan kepalanya, segala hal yang ia lakukan untuk mengusir segala mimpi buruk yang berkejaran di dalam benaknya saat ini. "Aku bisa melihatmu, mendengarmu, seperti aku sedang melangkah di sampingmu!" jawaban Alina terdengar. Pedang putih di tangan Varthan bercahaya putih lembut, berpendar-pendar sejenak, dan Varthan mengangguk, lemah awalnya, namun anggukan kedua menjadi lebih mantap.

"Dunia ini begitu gelap, Alina, di benakku berlarian segala darah dan pembantaian yang pernah kulihat, yang pernah kulakukan. Semua yang ingin aku lupa, sekarang berlarian di kepalaku. Alina, bantu aku ..." bisik Varthan.

"Bagaimana caranya? Katakan, Varthan!" balas Alina.

Varthan terdiam ketika ia mati-matian mencoba mengusir memorinya mengenai pemberontak-pemberontak mata-mata Danaara di Direia yang ia penggal dengan tangannya sendiri, lalu kepala-kepala itu ia tancapkan di tonggak-tonggak di luar kediaman gubernur Provinsi Direia, provinsi yang selalu menjadi pemberontak di dalam Valezar. Ia melihat para pemberontak itu membuka mata mereka, terbelalak menatapnya nanar dengan darah merah segar mengucur membasahi wajah mereka ... .

SANG PEMANAH MATAHARI [SUDAH TERBIT CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang