7

622 63 3
                                    

"Sana."

Sana mendongak untuk melihat siapa
yang baru masuk ke dalam ruangannya. Saat sudah tahu bahwa yang datang adalah Dahyun, ia pun kembali menatap kertas-kertas yang berada di atas meja.

"Oh kamu. Ada apa?" tanya Sana masih fokus pada pekerjaannya.

Sementara itu Dahyun duduk di salah satu sofa yang ada di dalam ruangan tersebut.

"Kamu rajin ke kantor belakangan ini. Aku senang lihatnya."

"Ada tidaknya aku di sini, perusahaan akan baik-baik saja. Bapak Minato yang terhormat mempunyai banyak kaki tangan untuk menggerakkan perusahaan," terang Sana menyebutkan papinya.

"Akan lebih baik kalau putri dari Bapak Minato Yang terhormat sendiri yang menjalankan perusahaan," sahut Dahyun.

Membuat Sana tersenyum tipis mendengar ucapannya.

"Ngomong-ngomong tentang perusahaan, kamu mau perusahaan ini? aku bisa kasih lho kalau kamu mau?" tanya Sana sembari menatap Dahyun yang ada di depannya.

"Kamu, jangan mulai lagi," sahut Dahyun dengan nada putus asa.

Membuat Sana pun buru-buru mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

"Oke... oke. Aku cuma bercanda," terang Sana.

Dahyun berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri meja Sana. Lelaki itu membawa sebuah map bersamanya.

"Ini."

Sana menatap map yang baru saja diletakkan Dahyun di atas mejanya.

"Apa ini?" tanya Sana.

"Proposal proyek baru antara perusahaan kita dengan perusahaan lain. Aku nggak begitu tahu tentang perusahaan yang akan menjadi mitra bisnis terbesar kita ini. Kamu bisa baca data perusahaan yang akan menjadi rekan kita untuk info lebih detailnya. Aku cuma mau kasih ini sama kamu. Ketika proposal ini sampai di mejaku, mereka bilang untuk segera melanjutkannya pada Pak Minato. Tapi kurasa Kamu juga harus tahu kalau ada proyek sebesar ini yang akan dibangun oleh Pak Minato bersama perusahaan itu."

Sana mengambil map berwarna biru tua itu mendekat padanya. Mendengar ucapan Dahyun, sepertinya Papi tidak mau Sana tahu mengenai proyek ini. Memangnya kenapa?

"Oke. Nanti aku baca."

Dahyun tersenyum dan membungkuk hormat pada Sana.

"Aku pamit keluar dulu."

Sana hanya tersenyum kecil dan memandang Dahyun yang menghilang dari balik pintu. Setelah Dahyun sudah benar-benar tidak ada, Sana pun membuka map itu dan sesegera mungkin membaca sesuatu di sana. Mata Sana terhenti pada suatu tulisan yang ada di sana.

Sudah dia kira. Ini perusahaan milik keluarga Tzuyu. Sebelumnya juga lelaki itu pernah sekali membahas masalah kerja sama ini.

Sana melanjutkan kegiatan membacanya. Pada susunan nama-nama petinggi yang berperan dalam proyek di proposal tersebut, Sana tidak menemukan nama Tzuyu di sana.

"Nama lelaki itu tidak ada di sini. Apa Tzuyu tidak ikut serta mengenai hal ini?" Entah kenapa Sana harus merasa waspada untuk segala bentuk pergerakan lelaki itu. Namun, untuk saat ini, melihat tidak ada nama Tzuyu di dalam proposal, Sana sedikit bisa bernapas lega. Setidaknya lelaki itu tidak sedang memperalatnya demi bisnis keluarga kan?

Sana menutup map tersebut dan kembali merenung. Tzuyu sama seperti dirinya, hanya dibuat sebagai alat penyatuan untuk mengokohkan bisnis besar di antara dua belah keluarga. Sana menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan menatap langit-langit ruangan dengan sorot mata menerawang. Sudah cukup segala hal dalam hidup Sana selalu dibayang-bayangi
oleh nama besar papinya, jangan sampai urusan pribadi seperti calon suami pun ikut-ikutan terinvasi.

𝚂𝚗𝚊𝚣𝚣𝚢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang