22

825 71 19
                                    

Sana duduk di sofa ruang tengah sembari menghadap televisi yang menyala. Sejak pagi, setelah mandi dan sarapan, ia hanya menghabiskan waktu dengan duduk diam tanpa melakukan apa-apa di apartemennya. Volume televisi dibiarkan dalam keadaan rendah, menandakan jika Sana sama sekali tidak benar-benar menonton tayangan di depannya. Sejak Tzuyu pulang semalam, ia menangis cukup lama. Padahal ia menginginkan lelaki itu untuk pergi, tapi Sana tetap saja merasa bersalah.

Sana memeluk kakinya dan membenamkan wajahnya. Sebuah pertanyaan tiba-tiba mampir di benaknya. Sebenarnya apa yang salah? Perasaan bersalah apa yang sedang ia rasakan saat ini?

Isi kepala Sana seketika buyar saat suara bel dari arah luar pintu apartemennya terdengar. Sana mendongak menatap jam dinding yang ada di ruang tengah. Pukul delapan pagi. Siapa yang bertamu pagi-pagi seperti ini?

Cukup lama Sana membiarkan suara bel itu berbunyi tanpa membukanya. Namun, suara bel tidak juga mau berhenti berbunyi. Sana berdecak sebal. Dengan langkah berat, ia beranjak dari sofa menuju pintu. Cukup lama ia berdiam diri di depan pintu. Tangannya menekan layar interkom untuk melihat siapa yang berada di balik pintu. Dan saat melihat bukan Tzuyu yang ada di sana, melainkan papinya, untuk beberapa alasan Sana mendesah lega. Meski begitu, Ia tidak menampik kalau amarahnya kepada Papi tidak jauh berbeda dengan amarahnya terhadap Tzuyu. Namun, Sana tahu jika dirinya tidak akan bisa menghindari Papi selamanya, Sana pun dengan cepat membuka pintu unitnya.

"Akhirnya kamu membukakan pintu juga. Hampir saja Papi menghubungi pihak gedung agar bisa menerobos masuk."

Sana menghela napas panjang. Perempuan itu masih berdiri di depan pintu dan belum berniat menyingkir untuk mempersilakan Papi untuk masuk.

"Ada keperluan apa Papi datang ke sini pagi-pagi?" tanya Sana.

"Memastikan anak satu-satunya Papi masih hidup atau tidak."

Papi bergerak maju dan memaksa masuk begitu saja. Sana tidak punya pilihan lain selain membiarkan papinya masuk.

"Jangan bilang Papi pikir aku bisa saja punya pikiran untuk bunuh diri?" tanya Sana.

Mereka berdua bergerak semakin dalam dan berakhir dengan Papi yang duduk di sofa ruang tengah. Televisi masih menyala dengan suara bervolume rendah.

"Mungkin saja, kan? Biasanya anak muda bisa sedangkal itu kalau sudah berurusan dengan masalah percintaan," sindir Papi.

Sana mendengkus. Ia pun ikut duduk di sofa yang berada di sebelah Papi.

"Apa Tzuyu menemui kamu?" tanya Papi tiba-tiba.

"Kenapa Papi menanyakan dia?"

"Kenapa? Memangnya Papi salah menanyakan itu pada kamu yang merupakan pacarnya?" tanya Papi.

"Aku udah nggak pacaran lagi sama dia. Papi tahu betul itu karena siapa," sindir Sana.

"Kamu benar-benar serius memutuskan hubungan dengan Tzuyu?"

"Tindakanku itu cuma bentuk konsekuensi dari perbuatan yang dia dan Papi lakukan padaku."

Cukup lama terjadi jeda antara Sana dan Papi. Hanya terdengar sayup-sayup suara televisi. Sampai pada akhirnya Papi membuka suara.

"Jangan terlalu kejam dengan Tzuyu. Dia anak yang baik dan papi menyukainya."

"Anak baik apanya, jelas-jelas dia mendekatiku karena...."

"Dia tidak tahu apa-apa. Semua itu adalah keinginanku dan papa Tzuyu untuk melibatkanya pada proyek itu. Bukan kehendak Tzuyu dia hanya mengikuti keinginan kami."

Ucapan Sana terpotong begitu saja. Matanya langsung menatap ke arah Papi.

"Papi dan Papa Tzuyu yang memaksanya untuk terlibat. Lagi pula, apa salahnya melibatkan dia? Dia berkompeten. Tapi nggak masalah, salah kami juga yang memaksa dia. Jadi, kalaupun Tzuyu mau mundur dari proyek, itu nggak masalah."

𝚂𝚗𝚊𝚣𝚣𝚢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang