03. Cemburunya Raka

2.6K 267 4
                                    

Pagi-pagi sekali sekitar jam 5, Jean dibuat penasaran ketika samping rumahnya terdengar beberapa suara orang berbincang. Lumayan ramai dan cukup berisik sampai mengganggu tidur nyenyaknya.

Jean tidak bermaksud lancang sampai mengintip, dia hanya ingin memastikan bahwasanya itu adalah manusia, bukan makhluk tak kasat mata yang mengusik.

Pasalnya, disamping tempat tinggal dia merupakan rumah kosong. Dalam artian, rumah itu bukan berarti kosong karena sudah dihuni para hantu, melainkan pernah disewakan sebagai tempat kost, tetapi sekarang sudah tidak lagi.

Jean melihat beberapa orang bersama dengan kotak-kotak kardus berukuran besar hingga berukuran paling kecil yang berserakan di teras rumah. Itu semua menimbulkan sekelebat pertanyaan dalam benak Jean.

Pria manis itu hendak menyudahi kegiatan mengintip dan kembali masuk ke dalam rumah. Mungkin saja rumah itu akan direnovasi, bisa jadi bukan?

"Habis dari mana, Bun?"

Jean terperanjat. Kedua mata sipitnya sudah melotot saat Raka tiba-tiba muncul dari arah belakang.

"Ishh, aku kaget!"

Raka terkekeh geli. "Maaf, gak bermaksud ngagetin. Lagian kamu sendiri ngapain, sih?"

"Aku tadi habis dari teras rumah. Lihat disamping rumah kita ramai banget."

"Karena rumah disamping rumah kita itu bakal ada yang tempatin. Denger-denger Pak Mamat ngejual tanah sekaligus semua propertinya buat tambahan modal bikin usaha di tempat makan cepat saji. Tetangga baru kita ngomongnya kalau gak sore ini datengnya ya kemungkinan besok, ternyata dateng lebih awal."

"Kok kamu tahu?"

"Dari Pak Mamat sendiri. Dia sempet bilang waktu kumpulan buat kegiatan kerja bakti minggu lalu."

Jean hanya menanggapi dengan anggukan. "Mandi sana, siap-siap kerja. Aku mau masak dulu."

"Iya Bunda Jean yang cantik. Tapi sebelum itu, kasih Ayah kiss dulu dong. Kangen dicium Bunda Jean nih."

"Gak mau, Ayah jelek. Udah sana mandi." Jean melangkah menuju dapur dan meninggalkan Raka yang sudah menggerutu kesal.

"Gitu banget sama suami. Aku nikah lagi baru tau rasa."

"Ooh, jadi mau nikah lagi, ya? Yaudah sana nikah, tapi jangan harap kamu bisa hidup setelah ini!"

Raka memanyunkan bibir mendengar teriakan Jean yang mengancam dirinya. Jean waktu mereka masih berpacaran dengan Jean yang sekarang benar-benar sangat berbeda.

Apalah daya Raka, dia hanya seorang suami yang takut istri.

...

"Aku berangkat dulu. Jangan kangen." Raka mencium kening Jean sebagai tanda perpisahan. Jean sendiri langsung memejamkan mata sambil tersenyum. Padahal hal seperti ini seringkali berulang-ulang terjadi setiap harinya, tapi Jean tak pernah merasa bosan.

"Mohon maaf tuan Prayogo yang terhormat, jangan terlalu berekspektasi tinggi. Jelas aku gak bakalan kangen."

"Yakin nih? Terus, siapa yang kemarin lusa telepon aku sambil bilang 'Mas, pulang, jangan di kantor mulu, aku kangen' mana ngomongnya sambil manyun-manyunin bibir, huh? Sampai rumah langsung narik aku ke kamar terus peluk aku kenceng, gak ngebiarin aku mandi atau ganti baju dulu. Kelakuan siapa ya ini?"

Kedua pipi Jean bersemu merah muda. Dia segera membuang muka yang justru membuat Raka tergelak ringan. Raka tak segan-segan untuk mengacak-acak rambut Jean saking gemas terhadap sang istri.

"Jangan imut-imut gitu, bisa gak? Ini aku mau pergi kerja bukannya berangkat malah pengen peluk kamu sampai malam, besok, besoknya lagi, besok dan besoknya lagi, pokoknya selama yang aku mau sampai puas."

"Hilih, buaya kalo ngomong manis betul. Udah ah, sana pergi," usir Jean masih enggan menatap Raka. Dia mengusir bukan karena tidak mau melihat Raka lagi, tetapi Jean mengusir karena dia tidak bisa berlama-lama dengan Raka. Pria tampan itu selalu membuatnya merona dan berakhir membuat Jean menjerit-jerit bak anak remaja yang sedang jatuh cinta.

"Ngusir aku nih ceritanya?"

"Ishh, Ayaaah, cepet berangkat~" Jean tanpa aba-aba langsung mendorong tubuh Raka supaya mau berjalan.

"Eh, tapi mobil aku belum aku keluarin, sayang. Ini gimana ceritanya aku mau berangkat kalau mobil masih di garasi? CEO ganteng kayak aku masa disuruh naik taksi atau bus? Takutnya gak ada kembalian, kan kasihan supirnya."

"Nih orang satu narsisnya minta ampun. Anaknya siapa sih?" celetuk Jean seusai menghentikan kegiatan mendorong tubuh Raka.

"Anaknya almarhum Papa Cahyo sama almarhumah Mama Wenda. Suami Jeanzal Hatta Prawira sekaligus Ayahnya Aiden Hatta Prayogo."

"Lengkap banget, mau bikin Kartu Keluarga baru, Pak?"

"Iya nih, Kartu Keluarga bersama istri baru nanti."

"Heh, mulutnya!" Jean langsung memukul lengan Raka cukup kuat sehingga menimbulkan ringisan kecil dari Raka.

"Sakit loh, Bun," ucap Raka sembari mengelus lengannya yang terasa panas.

"Aku gak peduli. Salah sendiri kok ngomongnya istri baru mulu. Beneran pengen punya istri baru lagi, hah? Yaudah sana, cari istri lagi. Emangnya aku gak bisa juga apa? Nanti aku bakal nyari suami modelan kayak mas Doni, atau kalau perlu mas Doni sendiri juga gak papa. Gak kayak kamu, klemar-klemer."

"Bunㅡ"

"Atau enggak yang kayak oppa-oppa korea gitu. Eh tapi ada gak ya? Hm, pasti adalah, gak mungkin gak ada."

"Jeanzel, udah cukup!"

Jean memandang Raka yang memberinya tatapan intimidasi.

"Masih mau lanjut berkhayal?"

Intonasi yang Raka keluarkan terdengar tak mengenakkan. Jean bisa melihat wajah dingin dengan sorot mata yang menatapnya tajam. Pria itu tampaknya tengah marah.

"Ra-Raka ...."

"Terus, silakan, terusin aja apa yang pengen kamu bilang. Tapi satu hal yang harus kamu tau, aku gak suka kamu ngomongin cowok lain pas masih ada aku di sini."

"Raka, aku m-minta maaf. Aku keterlaluan," sesalnya seraya menunduk. Tak berani memandang lebih lama ekspresi mengerikan yang ditunjukkan Raka kepadanya.

Raka menarik napas sedalam mungkin, kemudian dibuang secara perlahan supaya emosi yang tiba-tiba muncul lekas lenyap. Dia tersenyum simpul lalu membawa Jean ke dalam dekapannya. Dirasakan tubuh sang istri bergetar, tampaknya menangis.

"Maaf aku bikin kamu takut. Udah, jangan nangis, aku yang salah. Aku minta maaf."

"Enggak, ini bukan salah kamu. Ini salah aku karena bikin kamu marah," tutur Jean melirih. Dia meremat setelan jas hitam yang dikenakan Raka.

"Tapi semua berawal dari aku. Aku janji gak bakal mengulang kesalahan serupa."

"Emm, aku juga." Jean mengangkat kepalanya, memerhatikan Raka masih dengan memeluknya erat. Bekas air mata bersamaan seluruh wajah Jean yang memerah berhasil membuat Raka terkekeh.

"Jangan nangis, aku gak bisa lihat kesayangan aku nangis karena perbuatan aku."

"Tapi kamu udah gak marah 'kan?"

"Enggak sayang. Aku gak bisa marah lama kalau sama kamu."

"Bohong!"

Raka terkikik gemas. Dia mendekatkan wajahnya dan membubuhkan kecupan sayang di kedua mata basah Jean. "Bohong apanya sih? Kamu pengen aku ngebuktiin betapa berharganya kamu sampai bikin aku susah buat marah?"

"Hehe, enggak perlu. Aku udah percaya."

Raka menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Ini kamu mau lepasin pelukannya atau enggak? Aku harus kerja loh ini. Tapi kalau kamu pengennya aku tetep di rumah, gass aja."

"Eh iya, hehe. Yaudah sana kamu berangkat. Entar pas mau pulang, aku titip martabak manis buat aku sama Aiden."

"Cuma itu doang?"

"Iya, itu aja. Makasih Ayah, hati-hati di jalan~"

Raka tersenyum membalas Jean. Dia menjadi ragu untuk pergi bekerja. Raka hanya ingin menghabiskan seluruh waktunya bersama keluarga kecilnya, tapi sebagai kepala keluarga sekaligus pimpinan, Raka juga tidak bisa mengabaikan tugas di perusahaannya.

Prayogo FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang