Jean sibuk memerhatikan Aiden yang sedang aktif mengamati pemandangan ibukota dari jendela besar yang ada di ruangan suaminya. Anak itu tampak begitu antusias jika sudah datang ke kantor Raka.
"Bunda, ada mobil pemadam kebakaran ... lihat!!!" Jari mungil Aiden menunjuk-tunjuk objek yang dilihatnya. Jean yang awalnya duduk bersantai kini berdiri, menghampiri sang anak untuk melihat mobil pemadam kebakaran yang dimaksudkan Aiden.
"Wiu ... wiu ... wiu ...." Bocah itu kemudian menirukan suara sirine yang terdengar samar, mengingat mereka berada di lantai paling atas perusahaan Raka. Hal itu sukses menimbulkan kekehan gemas dari sang Ibunda, lalu pria manis itupun mengarahkan tangannya guna mengusak surai lembut sang putra.
"Gemes banget anaknya Bunda."
Cklek
"Halo para kesayangannya Ayah, Ayah udah balik nih. Kangen gak? Kangen gak? Kangenlah, masa enggak."
Kedatangan Raka sontak membuat Aiden bergegas menghampiri sang Ayah. Aiden melompat-lompat dengan kedua tangan terangkat ke atas ingin di gendong. Pria itupun lekas mengangkat tubuh mungil Aiden.
"Ayah udah selesai kumpul-kumpulnya?"
"He'em, udah. Sekarang waktunya Ayah kumpul sama adek dan juga sama Bunda."
Kedua mata Aiden berbinar. Sungguh, beberapa larik kata yang amat disukainya.
"Ayo makan, Yah. Adek sama Bunda nungguin Ayah huftt ... Ayah lama!"
"Ututututu, benarkah itu? Maaf ya jagoan Ayah yang ganteng. Yaudah yuk kita makan sekarang, Ayah juga udah laper nih, mau makan masakannya Bunda."
Jean yang hanya mengamati ikut tersenyum. Pemandangan seperti ini sudah menjadi hal biasa untuk dilihatnya sehari-hari, namun tetap menyimpan sejuta makna yang sangat berarti di hatinya.
Jean membuka penutup kotak makan yang tadi sempat teranggur di meja. Dia sengaja membawa 2 Tupperware untuk Aiden dan Raka. Jika hanya 1 takutnya mereka takkan cukup kenyang, mengingat Raka sering pulang malam dan itu semua membutuhkan tenaga supaya tidak jatuh sakit saat telat makan.
"Bunda, adek mau maem sendiri."
"Oke siap. Anak Bunda pinter." Jean menaruh kotak makannya di hadapan Aiden. Bocah itu langsung menyantap makanannya meskipun sedikit belepotan.
"Suapin Ayah dong Bun."
Jean sampai melupakan bayi besarnya yang satu. Iapun menatap Raka seraya bersedekap dada. "Dek, lihat Ayah coba. Masa udah gede minta disuapin sih. Kalah dong ya sama adek," celetuk Jean mencibir.
"Ayah makan sendiri dong. Adek aja makan sendiri, lihat. Kita balapan makannya, yang kalah beliin susu cokelat."
"Jadi ceritanya adek nantang Ayah nih, hm? Oke kita lihat, pasti yang menang Ayah."
Aiden yang melihat sang Ayah mulai menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya pun tak mau kalah. Sendok mungilnya ia gunakan untuk mengambil nasi sebanyak-banyaknya. Terus dilakukan secara berulang hingga membuat pipinya menggembung.
Jean tertawa. Pasalnya tontonan yang tersuguh di depannya ini cukup mengocok perut. Ayah dan anak itu tak mau kalah bertanding untuk menghabiskan makanan.
"Ayo Ayah habisin!" seru Jean memberi dukungan. Ia tergelak saat Aiden memandangnya sengit.
"Bunda ihh ... kok dukung Ayah sih? Bunda 'kan ada di pihak adek!" protesnya tak terima.
"Iya-iya, Bunda minta maaf. Kalau begitu, ayo adek, kalahin Ayah!"
Aiden kembali melanjutkan kegiatannya dalam mengalahkan sang Ayah. Tepat terakhir sebelum makanan habis, Aiden sudah terlebih dahulu berhenti. Menyisakan separuh nasi yang sudah dimakannya setengah.
Raka yang menyaksikan itu memperlambat makannya. Memandang sang anak yang terlihat sudah kekenyangan.
"Wah-wah, kayaknya bakal ada yang beliin Ayah susu cokelat nih."
Aiden mencebikkan bibirnya ke bawah. Anak itu sudah berkaca-kaca sebelum akhirnya menumpahkan tangisannya. Dia berjalan mendekati Jean lalu naik ke pangkuan sang Ibunda sambil memeluknya erat.
"Hiks ... Ayah curang Bunda. Makanan adek porsinya banyak sedangkan punya Ayah cuma sedikit hiks ..." adunya.
Jean mengelus surai belakang Aiden guna menenangkannya. "Tapi punya adek yang sedikit loh porsinya. Lihat punya Ayah, banyak, itu karena tempat makannya berbeda. Punya adek kecil dan punya Ayah besar. Ini bukan tentabf Ayah yang curang, tapi perut adek yang udah gak muat nerima amunisi lagi. Adek gak boleh bilang begitu sama Ayah, minta maaf dulu gih nanti Ayahnya nangis."
"Gak mau, adek nanti disuruh beliin susu cokelat."
"Yaudah deh gini aja, biar Bunda yang beliin kita susu cokelatnya gimana? Mau dong Bunda? Maulah masa enggak."
Jean langsung memelototkan kedua matanya. Kok jadi dirinya yang harus membeli?
"Setujuuuu! Bunda cantik, tolong beliin susu cokelat ya, hihi~"
Jean menghela napasnya. "Oke deh. Ayah, susu cokelat buat Ayah nanti kalau rasanya ada yang aneh, itu racun tikus ya?"
"Waduh, ngeri banget Bun pake segala dicampurin racun tikus."
Jean beranjak dari duduknya. "Entar malam jatahnya di cancel. Kamu tidur di luar, aku mau tidur sendiri." Lalu dia melangkah keluar dari ruangan sang suami guna membeli susu cokelat untuk kedua kesayangannya.
"Nahloh ibu negara ngambek. Alamat gak jadi buatin Aiden adek kalo begini ceritanya," gumam Raka gundah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prayogo Family
FanfictionHanya bercerita sedikit tentang kisah keluarga yang dipenuhi sekali dengan kehebohan di dalamnya. ㅡ Huang Renjun as Raka Andhi Prayogo (top) ㅡ Lee Jeno as Jeanzel Hatta Prawira (sub)