09. Harus Berani

1.1K 146 1
                                    

Jean sangat mewanti-wanti hari ini tiba. Anak kesayangannya sudah akan bersekolah, dan Jean teramat begitu bersemangat membantu Aiden menyiapkan segalanya.

Dimulai rempong mencawiskan perlengkapan alat belajar hingga hal sepele seperti sepatu sampai tatanan rambut guna menyesuaikan peraturan sekolah. Jean dibuat sibuk mempersiapkan apa yang diperlukan supaya Aiden jauh lebih baik di hari pertama anak itu nanti bersekolah.

Raka sampai terheran oleh api semangat yang mengobar dalam diri sang istri. Tugas Raka hanya menonton, sebab tak mengerti harus membantu apa.

Saat ditanya, Jean dengan cepat menjawab jika Raka tak perlu membantu. Raka tak ingin mempermasalahkan itu. Lagi pula Raka juga pada saat itu sedang tidak bisa meluangkan waktunya meskipun hanya sebentar, itupun masih sempat ketika Raka ingin mengambil air minum sebelum lanjut bekerja di ruang kerjanya.

"Adek, ayo bangun. Katanya pengen sekolah, tapi kok gak bangun-bangun sih? Adek udah harus mulai membiasakan diri buat bangun pagi loh. Adek, bangun." Jean berusaha membangunkan Aiden yang tidak mau membuka mata. Hanya menggeliat kecil lalu kembali tidur.

"Sayangnya Bunda, ayo bangun dek."

Tidak ada tanggapan. Jean menghela napasnya panjang dan terpaksa menarik Aiden berdiri supaya mau bangun.

Anak itu merengek mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang limbung, bahkan kedua matanya setengah terpejam.

"Adek kalo gak bangun, kita gak jadi sekolah. Biar Adena yang sekolah terus adek gak ada temennya di sini."

Seketika Aiden membuka mata. Bocah itu memandang sang Bunda dengan bibir mengerucut maju.

"Gak mau, Bundaaa~" rengeknya memelas.

"Makanya nurut. Kalau disuruh bangun ya bangun. Sekarang ayo mandi, nanti diantar Ayah ke sekolahnya, adek berani 'kan?"

"Hu'um."

"Okay, c'mon."

...

"Widih, anak Ayah ganteng banget. Udah mirip kayak Ayahnya, hehe," puji Raka diselingi kekehan mengetahui sang anak menghampirinya dengan seragam sekolah.

"Iya dong, adek 'kan mau sekolah."

Raka kembali terkekeh dibuatnya. Dia pun mendekati sang anak lalu digendongnya. Mencium pipi gembul Aiden dengan gemas. "Adek udah siap buat ke sekolah dan jauh dari Ayah sama Bunda?"

Anak itu mengangguk ragu. Setiap anak jika pertama kali berada di lingkungan baru pasti enggan berjauhan dari orangtuanya. Jikapun di tinggal, pasti akan merengek dan menangis berharap orangtuanya tetap menemani.

"Yakin?" tanya Raka sedikit menggoda.

"Y-yakin," balas Aiden penuh keraguan. Raka yang melihat itu langsung menahan tawa menyaksikan raut kebingungan sang anak sebelum akhirnya bocah itu berteriak histeris. "Gak mau! Adek gak mau sekolah huweeee mau sama Bunda aja, gak mau sekolah, gak mau!!!"

Raka kalang kabut. Dia langsung mendekap lebih erat sang anak sambil berusaha menenangkan tangisannya.

"Ih adek, cup cup sayang ... aduhh, Bunda bakal ngamuk sampai tau anaknya nangis."

Mendengar suara tangisan Aiden, Jean langsung bergegas turun menghampiri Raka. Melihat Aiden yang tengah menangis kencang di dalam gendongan sang suami, Jean kemudian mengambil alih tubuh Aiden untuk digendongnya gantian. Padahal baru ditinggal untuk bersiap, sudah saja ada keributan.

"Utututu jagoannya Bunda, udah ih nanti gantengnya hilang loh. Masa mau sekolah nangis begini sih? Kenapa hm, kenapa?"

"Adek gak mau sekolah. Adek gak mau jauh dari Bunda sama Ayah ...." jelasnya memandang sendu wajah cantik Jean dengan bibir melengkung.

"Eh, kok begitu. Janji adek sebelum pengen sekolah apa? Katanya pengen jadi kayak Ayah, mau dapet temen yang banyak, dan biar jadi anak yang berani, tapi kok malah langsung berubah pikiran?"

"Tapi adek gak mau Bunda tinggalin adek."

Jeno terkikik geli. "Kan satu-satunya cara biar berani, adek harus mandiri. Lagian Bunda gak bakalan ninggalin adek, Bunda bakal jemput adek pas waktunya udah pulang. Di sekolah, adek bersama guru dan teman-teman, jadinya untuk apa takut?"

Tangisan Aiden berhenti. Dia menatap Jean dengan tatapan polos. "Kalo nanti ada hantu bagaimana, Bunda?"

Pertanyaan kocak Aiden sukses membuat Jean tak bisa menahan diri untuk tidak mencium pipi gembul itu.

"Yang namanya hantu itu gak ada, adek. Iya 'kan, Yah?" Jean beralih menatap Raka yang hanya memerhatikan. Dia mengangguk begitu Jean mengajaknya berbicara.

"He'em, karena hantunya takut sama adek," balas Raka.

"Kenapa bisa takut sama adek? Adek 'kan ganteng, Yah."

Jean membulatkan kedua mata sabitnya. Astaga, Aiden pasti belajar dari Raka. Suaminya itu memang seringkali berbangga atas ketampanan yang dipunyanya sampai kadangkala sering memamerkan keelokkannya, berakhir membuat Jean bergidik meskipun kenyataannya Raka memanglah tampan.

"Karena adek punya keberanian buat sendiri, jadinya hantu pun takut. Makanya adek harus terus berani biar hantu takut sama adek," tutur Raka.

"Jadi, adek harus berani ya, Bunda?" tanya Aiden.

"Iya, sama jangan cengeng. Udah ah kok malah bahas hantu. Sekarang adek makan ya? di hari pertama sekolah, adek harus ...?"

"Kuat dan sehat!"

"Sama ...?"

"Jangan sakit!"

"Pintar." Jean menurunkan Aiden di atas kursi. Dia berjalan melewati Raka dan menyempatkan memberi cubitan sayang di pinggang sang suami.

"Bunda ...!" pekiknya, namun Jean tak mengindahkan. Dia sibuk mengambilkan nasi beserta lauk pauk untuk sang anak.

Prayogo FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang