04. Tetangga Baru

1.7K 225 0
                                    

Jean baru bisa bersantai selepas membersihkan rumah. Kegiatan ini sudah menjadi rutinitas yang kerapkali dilakukannya setiap hari. Lagi pula, Jean bisa sekaligus berolahraga jika Raka tak memperbolehkannya untuk pergi bekerja. Setidaknya dia masih mampu beraktivitas agar tak terlihat seperti seorang pengangguran.

Membujuk sang suami supaya mengizinkannya bekerja pun sepertinya percuma. Raka bersikukuh tak membiarkan Jean melakukan aktivitas di luar rumah.

Kata pria itu, kebutuhan finansial sudah dia yang memenuhi. Jean hanya perlu bertugas selayaknya istri rumah tangga pada umumnya. Tentu saja hal itu langsung mendapat antipati dari Jean yang merasa itu semua tidaklah adil.

Jean bukan seorang perempuan. Jean juga mampu bekerja seperti sang suami tanpa menyangkutpautkan posisi.

Kembali pada cerita, Jean kini sedang mengistirahatkan tubuh letihnya sambil meluruskan kedua kakinya di sofa panjang ruang tamu.

Kemana Aiden pergi?

Anak itu sungguh mirip seperti Ayahnya, Raka. Jika sudah tidur, ingin dibangunkan pun rasa-rasanya percuma. Anak itu sulit sekali dibangunkan. Lagi pula Jean juga tidak ada niatan ingin membangunkan Aiden. Biarkan bocah kecil itu tidur hingga puas. Pasalnya, minggu depan Aiden sudah akan pergi ke sekolah, tentu hal tersebut takkan membuat Aiden bisa merasakan lagi saat-saat menyenangkan di rumah.

Knock knock knock

Jean menolehkan kepala ke arah pintu yang memang sudah terbuka sejak sebelum keberangkatan Raka ke kantor. Dirinya lantas tersenyum mendapati seseorang yakni tetangga barunya.

"Permisi, maaf mengganggu. Saya cuma pengen mampir ke setiap tetangga sambil kasih oleh-oleh, hehe."

Jean bangkit dari duduknya, menghampiri sosok perempuan yang datang sembari membawa buah tangan. "Eh? Ya ampun, makasih banyak. Seharusnya gak perlu sampai bawain oleh-oleh segala." Jean terkekeh canggung. Mau menolak juga tidak enak karena tak ingin dikatai tidak menghargai pemberian, sehingga Jean pun menerimanya.

"Jangan bilang begitu, saya ngelakuin ini juga hitung-hitung sekalian pengen bersosialisasi sama tetangga baru, karena posisi saya di sini sebagai pendatang baru. Oh iya, kenalin, nama saya Lia." Perempuan itu mengulurkan tangan kanannya ke depan sambil mempertunjukkan seulas senyum yang begitu cantik.

Jean langsung balas menjabat tangan Lia. "Jean."

"Kayaknya kita seumuran deh, bener gak sih?" tanya Lia diselingi tawa.

Jean merespons itu sembari ikut tertawa meski masih terlihat ada sedikit kecanggungan. "Masa sih? Aku baru 26 loh. Em Lia, duduk dulu, gak baik ngobrol sambil berdiri." Jean terkikik, mempersilakan Lia duduk untuk melanjutkan sesi bercerita.

"Kita sama, Jean! Aku baru ada 1 anak, cewek. Kamu?"

"Anak aku cowok. Baru 5 tahun sih usianya dan bakal mulai masuk TK minggu depan."

"Astaga, seneng rasanya punya tetangga seumuran! Gak nyangka banget, apalagi kita juga sama-sama punya anak yang juga sama seumuran. Aku juga ada rencana masukin anak aku, entar bareng ya?"

"Oke, tenang aja."

Keduanya terus bercerita dengan nyaman. Perasaan yang semula canggung, tergantikan dengan perasaan cair untuk saling mengungkapkan kesukaan, kehidupan rumah tangga, keluh kesah, dan masih banyak lagi.

Jean senang dapat bertemu seseorang yang ternyata sefrekuensi dengannya.

...

"Bunda, siapa orang yang tinggal di samping rumah kita?"

Jean menunduk sedikit ke bawah untuk melihat sang anak. Dia baru saja selesai mandi. "Itu tetangga baru kita, dek. Mereka punya anak perempuan yang seumuran sama adek, loh. Gak mau ajak dia main bareng, begitu?"

"Aiden malu, Bundaaaa~" rengeknya, membuat Jean terkikik gemas.

"Ih, adek gak boleh begitu. Adek itu cowok, harus berani dong. Sekarang Bunda mau tahu, apa yang bikin Aiden malu, hm?" Jean menangkup kedua pipi gembul Aiden lalu dicium kening sang anak sampai membuat bocah itu melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Aiden takut, gak berani ke sana. 'Kan Bunda sendiri yang bilang, gak boleh asal berkunjung ke rumah orang lain tanpa Bunda atau Ayah," jelas Aiden dengan tampang polos. Jean yang mendengar itu tak kuasa untuk tidak menciumi seluruh wajah sang anak.

"Pinter banget anak Bunda," ujar Jean seraya mengusak rambut Aiden. "Jadi, adek mau gak mainan sama anak tetangga baru kita? Bunda gak keberatan semisal adek pengen ajak dia main bareng."

"Mauuu!"

"Oke, ayo kita ke sana."

"Let's gooo!"

...

Sudah kembali menjelang malam. Seperti biasa, Jean akan sibuk pada alat masak di dapur sedangkan Aiden duduk tenang sambil menonton tayangan kartun.

Sebentar lagi Raka pulang. Bertepatan sekali saat masakan sudah siap, bel rumah berbunyi. Jean melepas apron yang melindungi tubuhnya, berniat guna membukakan pintu. Namun niat Jean urung tatkala sang anaklah yang mengajukan diri ingin membukakan pintu untuk sang Ayah.

"Biar adek aja, Bunda!" Anak itu berseru sambil berlari menuju pintu.

Jean terkekeh geli kala menyaksikan tubuh mungil itu berusaha meraih gagang pintu. Jean hanya membiarkan sampai Aiden berlari kecil ke arah samping sembari mendorong kursi mini untuk dijadikan sebagai pijakan guna meraih gagang pintu.

"Horeeeee, Ayah pulang!" Aiden tanpa aba-aba langsung melompat ke dalam pelukan Raka.

Empunya yang tiba-tiba mendapat serangan, lekas menahan tubuh mungil sang anak supaya tak terjatuh. "Adek, gak boleh loncat sembarangan! Kalau Ayah belum siap nangkap adek gimana?" tegur Raka.

Mendengar itu, Aiden menundukkan kepalanya menyesal. "Maaf Ayah."

Raka menghela napas. Dirinya tidak boleh sampai kelepasan dan berakhir membentak Aiden. Tangannya yang tak memegang tas kerja digunakan membelai surai belakang Aiden. Membubuhkan kecupan di pipi berisi itu dan terakhir menepuk pelan pantat sang anak.

"Jangan diulangi tapi ya?" Raka melangkah masuk, membawa Aiden ke ruang makan di mana masih ada Jean yang sedang menyaksikan dalam diam.

"Em, iya Ayah, adek janji."

Raka mendudukkan Aiden di kursi. Dia menatap Jean lalu mengecup singkat bibir merah muda kesukaannya itu. Tenang saja, kedua mata Aiden sudah terhalang oleh tangan Raka agar tak melihat kemesraannya bersama Jean.

"Capek nih, butuh nutrisi."

Jean mendengus lalu mencubit pinggang Raka. "Nekat banget, heran. Sana pergi mandi dulu, aku tunggu sampai 10 detik dimulai dari sekarang."

"10 detik? Yang bener aja Jeanzel Prayogo! Itu masih kelamaan. 1 detik aja," candanya diakhiri mencolek dagu Jean.

"Apaan sih, dilihatin anak sendiri gak malu? Udah ah sana, kamu bau." Jean beralih mengambilkan nasi untuk Aiden yang memandang keromantisan kedua orangtuanya dengan saksama.

"Entar jatah ya, Bun?"

"Tck!" Jean berdecak, sendok nasi yang ada ditangannya ia angkat seakan-akan bersiap melempar itu kepada Raka.

Pria itu langsung lari. Tak ingin mengambil risiko untuk nasib selanjutnya. Lagi pula, sudah lama Raka tak mengambil haknya, tak salah apabila dirinya menagih, 'kan?

Prayogo FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang