06. Kesibukan Di Bulan Agustus

1.3K 176 2
                                    

"Jadi ibu-ibu, bapak-bapak, adik dan kakak sekalian yang saya cintai dan saya banggakan, komplek kita 'kan masih punya cukup waktu untuk melakukan persiapan 17-an, apakah ada usulan untuk kegiatan kita selama di bulan Agustus?"

Pria setengah baya yang barusan berbicara itu adalah RT di komplek tempat tinggal Raka dan juga Jean. Kini seluruh warga komplek tengah berkumpul untuk saling mendiskusikan agenda Agustusan. Beruntung Raka sudah pulang, sehingga dapat datang bersama para warga lainnya ke rumah Pak RT.

"Yang jelas lomba-lomba gak boleh dilupakan," sahut seorang pria setengah baya yang duduk paling pojok sambil memangku sepiring puding, sebut saja Dewo.

"Lombanya kalau bisa jangan yang itu-itu aja, kasih tambahan yang bikin greget," ujar pria dewasa lainnya. Semua langsung mengangguk termasuk Raka juga.

"Kalau mau yang menantang, coba aja lomba lari di atas air kayak Naruto gitu, atau enggak ya jalan keseimbangan di atas bambu yang di bawahnya ada lava, sama ... oh iya, lompat-lompat dari atap ke atap gedung pencakar langit dan kalau pengen makin greget, pakai tali tambang aja buat dilewati pakai sepeda. Seru tuh kelihatannya," celetuk Raka menengahi. Pasalnya, atmosfer di ruang tamu pak RT terlalu serius, sedikit mencairkan suasana tak masalah bukan?

"Gak begitu juga konsepnya, wahai bapak Prayogo!" Nanda mencibir sembari melempar kulit kacang rebus ke arah Raka.

"Saran yang bagus. Nanti yang ikutserta hanya nak Raka doang," ucap Pak RT.

Semua orang yang ada di ruang tamu tertawa.

"Gak papa Pak, kalau perlu saya ajak Nanda buat gabung biar gak bikin orang darah tinggi mulu."

"Lah, kok saya dibawa-bawa?!" pekik Nanda.

"Kalo udah adu congor begini gak bakalan bisa diem. Lanjut aja Pak, hiraukan gangguan setan," celetuk Ayrin.

"Oke, untuk susunan kegiatan perlombaan biarkan nanti anak-anak karangtaruna yang memutuskan. Kita yang tua-tua bakal ikut sama yang muda. Yang harus kita persiapkan adalah mempercantik komplek dengan hiasan lain selain bendera. Ada usulan?"

Seorang pemuda langsung mengacungkan tangan. "Untuk urusan yang berat, biar jadi urusan anak-anak aja, Pak. Untuk tambahan hiasan saya rasa gak perlu yang berlebihan. Mungkin bakal ada penambahan pada gapura seperti membuat anyaman dari bambu dan bakal diberi gambaran burung Garuda sampai tanggal merdekanya Indonesia, atau kita adakan kegiatan penghijauan supaya komplek kita makin asri. Agustusan gak cuma mendominankan merah putih, tapi lingkungan yang bersih juga harus. Apalagi Agustusan tahun lalu, lapangan jadi banyak sampah karena orang-orang membuang sampah sembarangan. Saya bersama anak-anak semaksimal mungkin akan membuat peraturan baru dan menanam beberapa pohon agar semakin rindang."

"Usulan yang bagus itu, nak Jibran. Ada yang sepakat sama apa yang disampaikan Jibran?" tanya Pak RT memandang satu persatu warga komplek yang hadir.

"Saya sih yes," balas Nanda. Semuanya langsung mengangguk.

"Oke, deal ya? apa-apa yang kurang akan disampaikan waktu kerja bakti nanti. Karena ini udah malem banget, saya kira saya bakal mengakhiri saja. Terima kasih untuk kalian semua yang udah menyempatkan waktu untuk datang."

"Kalau begitu saya pamit, Pak." Raka beranjak guna bersalaman dengan Pak RT. Dia lekas pergi setelah mendapat izin dari pria itu.

"Saya juga, Pak," pamit Nanda diikuti oleh yang lain.

...

Raka membuka pintu rumahnya yang tak terkunci. Dia melihat Jean yang sedang duduk lesehan sambil menghadap layar laptop. Diapun menghampiri dan ikut duduk di sebelah Jean yang tampak bergeming oleh kehadirannya.

"Ngapain sih, sibuk banget kayaknya deh?"

"Enggak kok. Aku cuma iseng lihat-lihat resep masakan di internet. Eh pas nanya Bunda Jeje, langsung dikirim dong beberapa foto resep masakan. Aku mau nyoba buat besok, sekalian Bunda Jeje mau mampir ke rumah."

Raka mengangguk-angguk mengerti. "Bunda datengnya pagi apa siang, nih? Aku mau pulang bentar. Gak enak, masa mertua dateng, akunya gak di rumah."

"Ih, gak papa atuh. Lagian kamu 'kan kerja, Bunda Jeje juga gak mempermasalahin kamunya ada atau enggak. Lagipula kalau besok kamu tiba-tiba ada meeting mendadak, masa iya mau kamu batalin begitu aja? Gak lucu ah Ayah."

"Tapi 'kan Bunda cantik, kesayangannya Raka yang gemesin, jarang loh aku mampir ke rumah Bunda. Sekalinya Bunda dateng, malah aku yang gak di rumah. 'Kan biar dikira mantu yang baik, iya gak?" Raka sengaja menaik turunkan alisnya sembari tersenyum lebar.

Jean mengambil bantal sofa lalu dilemparkannya ke wajah tampan Raka. "Mantu yang baik katanya, preeett! Udah ah sana, aku mau nyari lagi. Itu anaknya kelonin, kangen Ayah katanya."

"Cielah, kamu gak kangen sama aku nih?"

"Gak, sepet lihat muka kamu."

Raka memberengut. "Bunda mah sukanya gitu deh. Nistain suaminya mulu. Giliran kualat baru tahu rasa."

"Nyenyenye, gak peduli, Ayah jelek!"

Raka tersenyum kecut. Dia dengan jahil menutup laptop Jean kemudian berlari terbirit-birit masuk ke dalam kamar. Mengabaikan teriakan kencang Jean yang memanggilnya dengan kesal.

Sehari tak menjahili Jean takkan membuat Raka puas.

...

Kini kedua pasangan suami-suami itu sudah ada di atas tempat tidur. Saling berpelukan guna menyalurkan kehangatan melalui masing-masing belaian lembut.

Sebelum tidur, tak menyenangkan apabila tidak saling berbagi cerita hingga saling berkeluh-kesah. Terkadang pula, tak hanya Raka saja yang mendapat permasalahannya sendiri, melainkan Jean juga.

Namun sudah beberapa menit keduanya berdiam diri, sama sekali tidak ada yang berniat memulai pembicaraan, hanya mendengarkan lantunan suara jangkrik yang berbunyi pada malam-malam tertentu.

"Ini gak ada sesi cerita kayak biasa?" tanya Raka dengan suara pelan dan halus.

Jean mendongak lalu kembali menenggelamkan wajahnya ke dada sang suami. "Gak ada yang spesial hari ini, tapi aku mau ngomong, aku sayang banget sama mas Raka."

"Dih, tumben bilang sayang, gak biasanya?"

"Emangnya gak boleh?" tanya Jean kembali mendongak. Kedua matanya memicing bersamaan dengan bibirnya melengkung ke bawah.

Raka memekik gemas lalu menciumi pipi Jean. "Aku gak bisa lihat yang gemes-gemes. Kamu begini aja bikin aku hampir mimisan tahu gak sih?"

"Idihh, lebay."

"Walaupun lebay, itu juga karena kamu. Kenapa sih gemes banget, jadi pengen ngunyah," pekik Raka. Dia tak berbohong, Jean memang begitu menggemaskan.

Tapi Jean yang memang mudah merona dan cepat tersipu, langsung saja menarik puting Raka sampai membuat pria itu memekik.

"Bunda, kok ditarik sih?!" protesnya tak terima. Sebab selain kebanggannya yang ada di selangkangan, puting adalah salah satu area yang juga membuat Raka merasa sensitif.

"Bodo, gak peduli."

"Ngode aku ya kamu? Mau bikin adek buat Aiden? Hayuk, sok atuh. Kita kerja nyicil adek buat Aiden biar jadi abang dia."

"Heh, lambenya minta di pukul pake raket nyamuk! Lagian, siapa juga yang ngode, kamu sendiri aja yang mau."

Raka menyengir. "Hehe, 99% benar dan 1% salah."

Jean memukul dada Raka lalu memeluk lebih erat sang suami. Dia membenamkan kembali wajahnya sambil mengusap-usap punggung lebar pria itu.

Raka paham, jika sudah begini, Jean sedang tidak ingin bermain. Raka juga mengerti, bahkan meskipun ada keinginan, Raka takkan setega itu memaksa Jean memenuhi keinginannya.

Mungkin saat untuk bersenang-senang bisa dilakukannya lain waktu, tidak harus malam ini.

Prayogo FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang