05. Lari Pagi

1.4K 189 2
                                    

"Buuuun, Ayah juga pengen ikut~" rengek Raka memohon. Pria itu ingin ikut lari pagi bersama keluarga kecilnya, tetapi Jean tak memperbolehkannya dengan alasan Raka harus berangkat ke kantor.

Lagipula Jean tak salah. Raka adalah seorang pemimpin. Seharusnya Raka mempunyai tanggungjawab besar terhadap jabatannya itu. Dan sebagai seorang pemimpin pula, tak sepatutnya mencerminkan sikap pembolos hanya karena ingin ikut lari pagi dengan keluarganya. Bukan waktu yang tepat untuk ikut mengingat hari belum minggu.

"Enggak Ayah. Ayah kerja, gak ada ikut-ikutan."

"Ishh ... Bunda mah gitu. Sekali-kali gak masuk gak bakal bikin perusahaan aku langsung roboh. Ya, ya, ya, Ayah ikut, cuma sekaliiiii aja?" Raka melingkarkan kedua tangannya di lengan Jean, mengikuti kemanapun Jean melangkah bak seorang anak ayam kepada induknya. Dia terus memohon meskipun tanggapan Jean selalu membuatnya berkali-kali merengek.

"Mau Ayah mohon-mohon sampai tahun depan pun gak bakal Bunda kasih ikut. Pokoknya Ayah tetep harus berangkat kerja. Ayah itukan CEO, gak bagus kalo gak masuk kerja meskipun cuma sekali doang. Lusa deh Ayah boleh ikut karena udah weekend."

"Bunda gak asyik ah, ngambek Ayah!" Raka bersedekap dada seolah-olah tengah merajuk. Ekspresi memberengut tak luput dipertunjukkannya kepada Jean.

"Yaudah sih, mau ngambek, nangis, ketawa, Bunda juga gak peduli. Paipai Ayah ganteng." Jean mengecup singkat bibir Raka lalu melegang keluar dari kamar. Meninggalkan Raka yang sudah misuh-misuh tidak jelas di tempat.

Jean menghampiri sang anak yang menunggunya sambil mengemil kacang telur. "Yuk dek, kita berangkat. Keburu makin siang entar," ucapnya sambil memakaikan Aiden topi berwarna putih seukuran dengan kepala bocah itu.

"Ayah gak ikut ya Bunda?"

"Enggak. Ayah harus kerja dulu."

Aiden mengangguk paham. Anak itu bergerak turun dari tempat duduknya lalu berlari keluar rumah, disusul Jeno dari belakang.

Acara lari pagi ini sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh Jean bersama Aiden saja. Melainkan seluruh warga yang ada di komplek dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

"Bunda, itu Ena! ENAAA!"

Jean terkikik geli. Ena atau Adena, gadis cilik dari pasangan tetangga barunya itu memang sudah agak dekat dengan Aiden. Anak perempuan itu sangat menggemaskan sekaligus begitu sopan ketika bertamu ke kediaman Prayogo.

"Samperin gih temen barunya, tapi inget, jangan lari-larian ke tengah jalan. Bunda jalan di belakang sama tante Lia kalau adek nyariin Bunda."

"Ay ay Bunda!" Aiden berlari menghampiri Adena bersama Lia. Jeno menyusul sambil jalan biasa, toh lari pagi akan dimulai sekitar pukul 07.00 AM dan kurang 10 menit lagi sebelum kegiatan dimulai. Mereka gunakan waktu yang tersisa sambil bercerita sekaligus menunggu yang lain tiba.

...

Jean datang terakhir dengan napas yang terengah-engah. Dia mendudukkan diri di pinggir trotoar taman sambil meluruskan kedua kaki.

Sudah agak lama Jean tak pernah berolahraga lari, sekalinya menjajal, malah membuat napasnya terasa sesak.

Berbeda dengan Aiden, anak itu tampak begitu bersemangat. Sehabis lari mengelilingi taman yang sangat luas. Anak itu bersama Adena dan anak-anak lainnya berlari ke tempat bermain. Berlarian ke sana ke mari seakan-akan tak menunjukkan adanya rasa lelah.

Mungkinkah faktor penuaan?

Jean menyeka keringat di pelipisnya. Dia ingin pergi membeli air minum, tetapi untuk berdiri saja sangat enggan. Jean masih cukup letih untuk sekedar berjalan. Tapi dia juga haus. Air minum yang dibawanya sudah habis saat diperjalanan.

Sampai tiba-tiba sebuah lengan yang menggenggam botol berhenti di depan mukanya. "Nih."

Jean menengadahkan kepala. Kedua matanya menyipit ketika sinar matahari mengganggu penglihatannya.

Seseorang yang menyodorkan botol air bening itu adalah seorang laki-laki berkacamata. Rambut yang disisir ke belakang tampak lepek oleh peluh. Apalagi lengan berototnya yang terlihat mengkilap karena keringat manakala laki-laki itu hanya mengenakan baju tanpa lengan.

"Oh? Nanda toh," ujar Jean disertai kekehan kecil. Kini pandangannya menatap botol minum di tangan laki-laki berkacamata bernama Nanda itu. "Ini buat aku?" tanya Jean menunjuk pada botol di depannya. Nanda mengangguk lalu menggerakkan tangannya supaya Jean lekas mengambil botol tersebut.

"Makasih, Na. Aku emang lagi butuh," tutur Jean. Dia membuka penutup botol setelah mengambilnya dari Nanda. Meneguk air bening itu sebanyak mungkin sampai Jean merasa sudah tak lagi haus.

Nanda mengambil tempat duduk di sebelah Jean. "Aiden mana kak?"

Jean menunjuk depan di mana sekumpulan anak-anak tengah bermain bersama. Nanda yang melihat itu terkekeh renyah.

Nanda sendiri merupakan tetangga Jean. Rumah Nanda tepat berada di seberang rumah kediaman Prayogo. Pemuda tampan itu masih berkuliah dan sedang menyelesaikan tugas skripsi, tak heran apabila dia memanggil Jean dengan sebutkan 'kak' sebab usianya terpaut beberapa tahun dengan Jean. Tapi jika bersama Raka, panggilan 'kak' tak mungkin tersematkan begitu saja oleh Nanda. Pasalnya, Nanda ketika memanggil Raka hanya dengan sebatas nama saja.

Selain itu, Nanda juga sering membuat Raka naik pitam lantaran Nanda seringkali menggoda Jean oleh gombalan-gombalan romantis yang kalau kata Raka itu sangat menggelikan serta tak bermutu.

"Oh iya, Na, kamu udah makan belum? Kebetulan aku bawa roti isi kesukaan Aiden nih. Aku sengaja buatnya banyak karena sekalian buatin mas Raka bekal, eh taunya malah nyisa banyak, jadi aku bawa aja biar gak mubazir."

"Wah, boleh-boleh. Kebetulan Bundaku juga gak sempet masak. Sampai rumah palingan langsung bikin mie karena gak ada yang masakin."

Jean memandang simpati ke arah Nanda. Pemuda di sampingnya ini meskipun hidup dalam berkecukupan, tapi tak menentu membawanya pada kebahagiaan. Nanda pernah bercerita bahwa kedua orangtuanya bercerai saat Nanda berumur 13 tahun, dan kini Nanda tinggal berdua bersama sang Ibunda yang sibuk bekerja sampai tak bisa memberikan Nanda waktu meski hanya sebentar.

"Bi Menik gak masak?" tanya Jean sembari meletakkan tupperware bergambar anak kucing menggemaskan di sampingnya.

"Bi Menik gak bisa dateng. Dia izin udah seminggu yang lalu karena pulang kampung," jawab Nanda.

"Kalau begitu, kamu aja yang masak sendiri. Bisa gak?"

Nanda menggeleng. "Bukan ahlinya dapur. Takut kalo pas nyoba masak malah tiba-tiba gas meledak. Nunggu jodoh dulu," balasnya sembari tertawa jenaka.

"Kok malah nunggu jodoh, ada-ada aja kamu?"

"Ya biar ada yang masakin. Kayak kak Jean contohnya."

Jean tertawa terpingkal, Nanda memang juaranya kalau dalam hal istilah merayu. "Kamu bisa belajar masak kok, gak musti nunggu jodoh dulu. Aku bisa ajarin kamu masak kalau kamu mau."

"Boleh, kak, mau banget malahan. Kalo cowok dominan bisa masak gitu di mata cewek atau submisif kelihatannya keren. Gak kayak Raka, iya gak kak?"

Jean kembali tertawa. Tak tahu ingin membela atau justru marah. Jean sudah terlanjur tergelak, jadi dia membiarkan dan mengangguk setuju.

Kalau Raka tahu, kemungkinan terjadilah perang diantara kedua laki-laki itu.











Kalau Raka tahu, kemungkinan terjadilah perang diantara kedua laki-laki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ananda Fahrezi

Prayogo FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang