13. Bunda Gak Boleh Ngeyel!

1.1K 144 2
                                    

Jean terbangun pukul lima pagi. Karena sudah terbiasa bangun awal, sehingga kebiasaan itu tak pernah membuatnya selalu kesiangan. Oh iya, omong-omong, demamnya sudah turun, meski rasa pusing masih sedikit dirasakannya.

Ia menengok ke samping di mana sang suami memeluknya sedari semalam. Menyingkirkan lengan Raka yang berada di perutnya dengan gerakan hati-hati. Jean harus bergegas membangunkan Aiden dan menyiapkan sarapan untuk kedua orang tersayangnya.

Seusai membasuh muka dan menggosok gigi, ia berjalan turun menuju dapur. Membuka pintu kulkas yang penuh oleh bahan makanan. Jean mengambil apa yang ada. Lekas mengolah supaya cepat beres pekerjaannya.

Dan tak sampai banyak waktu digunakan, sayur bayam dengan sepiring nugget siap tertata di meja makan. Jean tersenyum bangga. Teringat bahwa sang anak juga suaminya belum bangun, ia langsung kembali ke lantai dua, berniat membangunkan Raka dan Aiden yang masih bergelung nyaman di kasur masing-masing.

"Adek, wake up, sayang. Jagoannya bunda harus sekolah."

Bocah itu hanya menggeliat. Tapi bukannya bangun, tetap tidur sembari memeluk boneka kelinci kesayangannya. Jean menghela lemas. Tangannya bergerak menyingkap selimut bermotif karakter Spongebob Squarepants yang membalut badan bocah mungil berbadan gembul itu.

"Kalau adek tetep gak mau bangun, bunda habisin aja kalik ya nugget bentuk t-rex permintaan adek kemarin? Soalnya gak ada yang makan, mubazir kalau dibuang." Jean sedikit mengintip, ingin tahu respons Aiden mengenai perkataannya.

Dan sepertinya ancaman Jean berhasil membangunkan Aiden. Dilihat anak itu mengerutkan dahi. Tangannya bergerak mengusap mata yang tampaknya masih enggan melek dengan bibir mengerucut maju.

"Jangan ...."

Jean terkikik. "Makanya ayo bangun. Bunda udah masakin adek, kalau adek gak bangun sama aja bunda bikin makanan jadi mubazir karena gak ada yang makan. Nanti makanannya nangis kalau adek gak makan mereka."

"Iyaaaa, ini adek bangun. Bunda jangan nakal ... huweeee!"

Jean tak akan mengira Aiden akan berakhir dengan tangisan. Ia lagi dan lagi menghela. Ingin membiarkan terlebih dahulu sang anak sampai sekiranya diam kembali. Lagi pula anak itu tidak benar-benar sedang menangis, hanya merengek yang terdengar seperti tengah menangis saja.

"Udah, ayo. Cepetan. Makin adek begini makin siang nanti. Ayo bangun, cepet."

"Gendong ...." Aiden berseru lirih bersamaan kedua sudut bibirnya melengkung ke bawah.

"Bunda masih belum sehat, sayang. Sama ayah aja, yuk?" sela Raka menengahi. Ia berjalan mendekati ibu dan anak itu.

"Bunda masih belum sembuh ya, Yah?" tanya Aiden dengan raut ekspresi polos.

"Belum. Jadi, mandinya sama ayah dulu ya? Bunda biar istirahat," balas Raka sembari mengangkat badan gembul Aiden agar duduk.

"Tapi aku udah mendingan kok, mas. Biar aku aja yang mandiin Aiden, kamu mandi juga biar gak telat nanti."

Raka lantas bersedekap dada. "Enggak, 'kan aku bossnya. Kamu balik ke kamar aja sana, biar keperluan aku sama Aiden, aku yang urus. Sekali-kali serahin aja tugasnya ke aku. Aku takutnya kamu entar makin sakit, makin bikin aku ngerasa bersalah karena buat kamu tetep ngelakuin pekerjaan rumah, padahal kamunya lagi dalam keadaan gak stabil begini. Jangan ngeyel kalau dibilangin sama suami. Aku suruh ke kamar, langsung ke kamar. Gak usah debat sampai satu diantara kita menang. Ini bukan pertandingan debat. Aku begini bukannya maksa kamu, tapi gak kepengen lihat kamu kayak semalam. Kamu masih butuh istirahat."

"Tapi mas, akㅡ"

"Tuh kan, apa yang baru aku bilang tadi? Jangan ngeyel. Mau bilang kamu udah sembuh? Gak ada ya ceritanya orang sakit langsung sembuh cuma dalam kurun waktu semalem."

"Bunda harus bobok biar bisa mainan sama adek lagi. Bunda sakit nanti adek yang sedih. Entar adek "heungg ... heungg" gitu." Aiden menyahut. Memperagakan seolah-olah dirinya menangis.

Hati Jean merasa tersentuh. Begitu besar kepedulian Raka yang tak ingin melihatnya jatuh sakit seperti semalam, apalagi sang anak yang juga mendukung tiap kata yang keluar dari belah bibir sang ayah. Jean tak bisa mengelak jika sudah begini ceritanya. Dua dibanding satu, ia akan kalah.

"Oke, kalian menang. Bunda bakal istirahat. Makasih ayah, makasih adek karena udah mau khawatirin bunda. Dan untuk ayah, anaknya jangan lupa dibuatin susu. Kamu juga kalau mau bikin kopi, jangan malah garam yang kamu masukin. Lihat tulisan di wadahnya. Yaudah, bunda ke kamar ya?"

"Iya bunda," balas ayah dan anak itu secara kompak. Membuat Jean menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum berlalu dari kamar sang anak.

Raka mengulurkan tangan kanannya. "Yuk, mandi. Kita buat bunda bangga." Anak itu mengangguk semangat. Menggenggam telapak tangan besar Raka, kemudian beranjak turun dari tempat tidur.

Keduanya pun berjalan beriringan ke kamar mandi. Di mana Raka menuntun Aiden yang terlihat antusias sekali.

"Bawa mainan ya, Yah?"

"Okeh, shiap!"

"Yah, anaknya jangan dibiarin bawa mainan ke kamar mandi. Nanti bukannya mandi, malah mainan dia. Soalnya adek kalo udah mainan gak mau keluar dari bak," teriak Jean dari kamar sebelah. Bertepatan pada saat itu Raka yang baru saja memasukkan beberapa mainan karet ke dalam bak hitam yang akan digunakan Aiden mandi.

"Walah, dan terlanjur nyemplung mainannya."

"Yeaay!" Aiden bersorak gembira. Memasukkan badannya yang sudah tak berbusana ke dalam bak dan memulai bermain. Melupakan niatnya yang ingin mandi karena waktu terus berjalan.

"Dek, mandi dulu yuk. Mainannya entar lagi."

Aiden tak menggubris.

"Dek, mainannya entar lagi. Sekarang mandi dulu."

"Gak mau."

Raka meringis mendengar dua kata yang keluar dari mulut Aiden. Bagaimana cara ia membujuk Aiden? Ini salahnya. Ia bukan ahlinya membujuk anak kecil, apalagi seperti Aiden yang sekalinya terusik pasti tak tanggung-tanggung melempari sesuatu yang ada di sekitarnya.

"Dek?"

"Gak mau!"

'Duh, Ya Gusti ... paringi kula kesabaran ....'

Prayogo FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang