Jihoon ternyata memang tidak seberuntung itu. Ketika dia berhasil kabur dari satu rentenir, rentenir lain menemukannya. Tengah duduk di pojok gang sempit nan gelap dengan nafas memburu.
"Di sini kau rupanya, bajingan kecil." ujar si kepala preman.
Jihoon menelan ludahnya pahit, berniat kaburpun sudah tidak ada kesempatan. Pula, jika dia melawan, dia tidak akan pernah menang.
Maka, Jihoon hanya bisa melindungi kepala dan perutnya ketika dia dikeroyok habis-habisan.
Para preman itu benar-benar menghajarnya tanpa belas kasihan, sampai Jihoon bahkan tidak mampu bernafas dengan normal, sampai seluruh persendiannya berteriak ngilu, sampai tubuhnya mati rasa.
"Waktumu tiga hari, jika kau melarikan diri seperti hari ini, aku akan menemukanmu dan mencungkil matamu!"
Ultimatum diberikan begitu tegas nan penuh ancaman dibarengi dengan tendangan terakhir pada perut Jihoon sampai si empunya terbatuk-batuk.
Si pemimpin meludah sebelum pergi, meninggalkan keheningan malam bersama seluruh rasa sakit yang semakin terasa di tubuh Jihoon.
Jihoon tidak bergerak, dia tetap diam dalam posisinya. Meringkuk memegangi perutnya yang terasa sangat perih, entah karena rasa lapar atau akibat dihantam berkali-kali dengan keras.
Satu isakan lolos dari bibir penuh darah milih si Maret, sudut matanya yang berwarna ungu melelehkan lahar yang selama ini terbendung kokoh.
Jihoon menangis, memukul-mukul tanah di bawahnya seraya berteriak frustrasi. Nafasnya tercekat habis, menghilang dalam keputusasaan.
Dia tidak tahan. Jihoon duduk dan memeluk lututnya erat, menangis semakin jadi. Sampai matanya yang bengkak akibat pukulan semakin bengkak, sampai kepala Jihoon berputar, sampai air matanya mengering habis, dan sampai Jihoon jatuh tertidur di gang sempit.
***
Butuh waktu lebih dari tiga hari untuk membuat seluruh memar milik Jihoon menjadi samar, butuh lebih dari lima hari agar rasa sakitnya berkurang.
Dan butuh lebih dari satu minggu bagi Jihoon untuk bisa kembali ke sekolah. Setelah membayar setengah hutang bulan ini, Jihoon akhirnya bisa bernafas sejenak sebelum hutangnya yang lain jatuh tempo.
"Terima kasih, noona." bisik Jihoon pada Jennie.
Karena Jennie dengan murah hati meminjamkan uang padanya untuk membayar hutang kepada para rentenir itu. Tanpa bunga ataupun jangka waktu kapan harus dilunasi.
Jihoon tidak tahu akan bagaimana jika Jennie tidak menolongnya, mungkin dia sudah membusuk di antara tumpukan sampah dengan organ tubuh tidak lengkap.
Dan Jihoon tidak tahu bagaimana dia harus membalas seluruh kebaikan Jennie. Rasanya, dengan ia menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk menjaga Jila sekalipun, itu tidak akan pernah cukup.
"Betapa aku ingin mengurai seluruh isi perutmu dan menyebarkannya di sungai Han." maki Hyunsuk saat Jihoon baru saja menginjakkan kaki di gerbang paling depan.
Hyunsuk selalu seperti itu.
Selalu mengomel dan melebih-lebih setiap kata dan cerewet. Mungkin itu refleks seorang penanggung jawab, dan Jihoon menyukai sikap itu.
"Kau tahu berapa kali aku mencoba menghubungimu selama ini? Kau tahu berapa ratus pesan yang aku kirim padamu? Kau tahu berapa pagi aku berdiri di sini hanya untuk berharap dan menunggu semoga kau akan datang ke sekolah sialan ini?!"
Tentu saja Jihoon tahu. Dia menghitung setiap panggilan dan pesan yang masuk dari Hyunsuk, menjadikannya daftar favorit dan menyimpannya.
Tidak ada alasan, Jihoon hanya ingin melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truly Madly Deeply [✓]
Romans"There's another side that you don't know." ↺BxB || Homo || Gay || Yaoi ↺M-Preg