Keesokan paginya Jihoon bangun terlambat, ia tidak sempat membuat sarapan untuk Bobby dan ia benar-benar panik.
Tapi ternyata Hyunsuk sudah berkutat di dapur ketika ia hendak memasak untuk Hyunsuk. "Oh, kau bangun lebih awal. Kembalilah tidur, ini masih pukul setengah enam. Aku akan membangunkanmu untuk sekolah satu jam lagi."
Sekolah... Jihoon sudah berhenti sekolah tepat dua hari ketika Hyunsuk datang kemari, ia memutuskan untuk berhenti menyumbang piala dan fokus mencari uang saja.
Jihoon kemudian teringat percakapannya dan Hyunsuk semalam, untuk selalu membagi segalanya. Jihoon merasa sedikit malu tapi juga ia lega.
"Aku ingin mengatakan sesuatu..." ujarnya karena Jihoon sudah memutuskan bahwa ia akan memberitahu Hyunsuk semua hal penting.
Jihoon duduk dengan matanya yang bengkak, mulai bertanya-tanya, sebanyak dan selama apa ia menangis tadi malam?
"Tentang kau yang berhenti sekolah?"
"Darimana kau tahu?" kaget Jihoon, melotot pada Hyunsuk yang tengah membalik telur dadar.
"Jika kau lupa, Renjun dan Felix itu satu kelas denganku dan dirimu. Mereka tentu tahu ketika si berandal beruntung yang tidak masuk akal memutuskan untuk keluar dari sekolah."
Jihoon menghela nafas, bertanya-tanya sejauh mana Hyunsuk tahu tentang kehidupannya.
"Tidurlah, aku sudah menyiapkan makanan untuk Ayahmu." kata Hyunsuk tulus. "Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mau jujur padaku."
"Berhenti berterima kasih, kau membuatku merasa berhutang."
"Yeah, aku tahu jujur itu bukan hal mudah, terutama ketika kau terbiasa berbohong."
Obrolan itu terus berlanjut, Hyunsuk terus berceloteh. Mengatakan kalimat pedas, terkadang sarkas dan menghina tapi pada kesempatan lain dia berkata begitu lembut dan menyentuh.
Tak terasa waktu sudah benar-benar pagi, Jihoon tidak kembali tidur karena kantuknya menghilang setelah mendengar Hyunsuk berkomentar banyak hal.
"Ini untuk Ayahmu, dan ini untukmu." ujar Hyunsuk bangga, dia menyodorkan dua paper bag pada Jihoon.
"Kau berubah terlalu cepat, banjangnim. Aku belum terbiasa."
"Ya, ya, ya, sana pergi dan cari uang lebih banyak karena dua hari lagi beberapa orang akan datang dan menagih hutang."
"Aku berbohong, kau sama saja."
"Memang, kau pembohong ulung."
***
Sesuai perkiraan Hyunsuk, Jihoon kembali tepat pukul sebelas. Ia sudah terkantuk-kantuk menunggu pemuda itu.
"Kenapa tidak tidur?"
"Aku menunggumu."
"Kenapa menungguku? Kau tidak harus melakukan itu, ingat perkataanku, kesehatanmu dan Winter lebih penting dari segalanya."
"Baiklah." ujar Hyunsuk kecewa, merasa penantiannya tidak dihargai.
Jihoon menghela nafas. "Kau sudah makan?"
"Hng..."
Jihoon berpaling pada meja makan dan menemukan satu piring bekas dengan yang lain masih terbalik dan beberapa wadah lauk.
"Baiklah, kau bisa menemaniku makan malam setelah itu tidur. Tapi berjanjilah padaku kau tidak akan menungguku lagi besok."
Hyunsuk mengangguk setuju dan rasanya benar-benar aneh melihat si banjangnim menurut begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truly Madly Deeply [✓]
Storie d'amore"There's another side that you don't know." ↺BxB || Homo || Gay || Yaoi ↺M-Preg